2.6

5.3K 1.6K 443
                                    

Sakit, hampir semua titik tubuh Jeongwoo terasa nyeri, pukulan yang diberi oleh orang asing itu tidak main-main. Jeongwoo pikir ia telah mati, namun nyatanya ia masih dapat membuka mata. Hanya saja, ia tak dapat melihat apapun meskipun sudah berulang kali mengedipkan mata, semuanya gulita.

"Anjing." Jeongwoo mengumpat panik. "Ini gue buta?!"

Jeongwoo mengedipkan mata berulang kali, berharap ada keajaiban yang dapat membuatnya melihat lagi. Ia tidak tahu, jika mendapat pukulan di belakang kepala dapat membuatnya mengalami kebutaan mendadak.

"Jeongwoo, lo udah sadar?"

Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah kanan, sepertinya berjarak satu atau dua meter dari tempat Jeongwoo duduk dan terikat sekarang.

"Bang Doyoung?" Jeongwoo mencoba memastikan, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jika itu suara Doyoung.

"Iya."

"Bang, gue buta." Suara Jeongwoo sedikit serak, seperti akan menangis. "Gue nggak bisa lihat apa-apa."

"Lampunya emang dimatiin, Woo. Gue juga nggak bisa lihat apa-apa."

Ah, memalukan. Kali ini Jeongwoo bersyukur karna lampu sedang dalam keadaan mati, jadi Doyoung tak melihat wajahnya yang sudah seperti orang bodoh karna panik berlebih.

"Lo kenapa bisa ada di sini, Bang?" tanya Jeongwoo, penasaran.

"Gue dikasih minuman yang ada obat tidurnya sama dia, terus pas bangun, gue udah ada di sini."

"Dia?" Jeongwoo mengulangi satu kata yang Doyoung sebutkan dan menimbulkan rasa penasaran. "Dia siapa?"

"Bang-"

Ctak!

Lampu tiba-tiba menyala, membuat mata Jeongwoo dan Doyoung terpejam karna kaget dengan cahaya yang tiba-tiba masuk dalam retina. Jeongwoo mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya menoleh ke arah pintu masuk yang terbuka dan mendapati seseorang berdiri di sana.

Pertanyaan tentang siapa pelaku dibalik teror yang menimpa mereka sudah terjawab karna kedatangan sosok tersebut, tapi Jeongwoo masih menolak fakta yang ada. Ia masih tak percaya, jika dalang dibalik semua ini adalah orang itu;

Orang yang sudah Jeongwoo anggap seperti kakaknya sendiri.

"Nggak mungkin lo kan, Bang?"

••••

Rencana Jaemin berantakan, niatnya untuk langsung datang ke rumah pelaku dan menangkapnya tak dapat direalisasikan, karna seseorang yang ia bawa sama sekali tak mengetahui alamat pelaku.

Dua belas remaja itu telah bersahabat cukup lama, tapi ternyata hanya rumah sang pelaku yang selama ini tak pernah mereka datangi, bahkan tak ada yang mengetahui. Itu benar-benar di luar dugaan Jaemin.

Keempat orang itu memutar rencana, memilih untuk ke rumah Jeongwoo dan mengatur strategi baru. Namun setelah hampir sepuluh menit mengetuk pintu rumah Jeongwoo dan memanggilnya, tak ada jawaban apapun. Motor Jeongwoo juga tak ada, membuat mereka yakin jika pemuda itu sedang tidak di rumah.

"Nggak bisa dihubungi," ujar Jaemin frustasi, sudah lelah sendiri karna Jeongwoo tak kunjung menjawab panggilan ataupun membalas pesannya.

Jeno mengusap wajahnya kasar. "Terus sekarang gimana?"

"Kita-"

Belum sempat Jaemin menjawab, salah satu dari mereka melangkah pergi dengan tergesa, membuat Renjun buru-buru menyusul lalu menutup pintu mobil yang baru saja dibuka olehnya. Jaemin dan Jeno lantas ikut mendekat.

"Gue yang nyetir," tegas Renjun, mendorong lelaki itu mundur dan merapatkan punggung pada pintu kemudi. Tak memberi akses bagi siapapun untuk membukanya.

"Gue aja, kita harus cepet."

"Kita bisa mati kalo lo yang nyetir."

Renjun masih trauma akan laju kendaraan yang amat tinggi tadi, bahkan mereka hampir beberapa kali menabrak kendaraan lain selama perjalanan ke sini. Renjun paham, lelaki itu sedang kacau dan sulit mengendalikan diri, seharusnya ia tidak mengemudi di saat seperti ini.

"Temen-temen gue bisa mati kalo kita telat, Bang."

"Gue tau, kita juga khawatir sama temen-temen lo. Tapi lo harus tenang dulu, jangan panik berlebihan."

"Gimana gue bisa tenang kalo keadaannya udah kayak gini?!" Suara lelaki itu tiba-tiba meninggi. "Pelakunya nggak tau ada di mana dan nggak ada satupun temen gue yang bisa dihubungi. Gimana kalo mereka lagi dalam bahaya?!"

Ia mulai tersulut emosi, Renjun tak dapat mengerti keadaannya yang kalut saat ini.

"Lo tuh nggak ngerti apa-apa, makanya bisa bilang kayak gitu."

Kalimat itu membuat Renjun tertegun karna terkejut, namun tak lama kemudian, ia menyeringai.

"Nggak ngerti apa-apa, lo bilang?" ulang Renjun, raut wajahnya seketika berubah dingin. "Emang lo tau apa tentang gue?"

Lelaki itu diam, mulai merasa aura Renjun berubah mencekam dan sorot matanya terlihat seram.

"Lo pikir yang pernah diteror dan kehilangan temen cuma lo?" tukas Renjun tajam. "Lo pikir yang pernah ngalamin hal gila kayak gini cuma lo sama temen-temen lo?!"

"Jun-"

"Asal lo tau, gue sama temen-temen gue juga pernah ngalamin hal yang sama kayak kalian," lanjut Renjun, mengabaikan Jeno yang mencoba untuk menyela. "Kita kehilangan Jisung dan sampe sekarang pelakunya belum ketemu!"

"Renjun," tegur Jaemin. "Ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin itu."

Renjun itu emosian, amarahnya mudah terpancing hanya karna hal kecil. Namun hari ini ia sudah berusaha menahan diri sebaik mungkin. Jaemin dan Jeno tahu, Renjun sudah ingin mengamuk sejak lelaki itu membawa mobil dengan kecepatan tinggi, namun ia berusaha menahan karna paham mengenai bagaimana kacaunya orang tersebut.

Tapi kini, emosi Renjun benar-benar dipancing untuk meledak. Hingga ia mengutarakan kalimat yang seharusnya tak diberitahu sekarang.

"Gue lagi nyadarin dia, biar tau kalo yang pernah ada posisi ini bukan cuma dia doang." Renjun membela diri, lalu kembali melirik lelaki yang lebih muda darinya. "Lo udah dibantu, kalo nggak bisa bilang makasih dengan baik, seenggaknya dengerin arahan, kita nggak bikin rencana dengan asal-asalan. Tindakan lo yang semaunya bisa ngerusak semuanya."

Lelaki berjaket itu tak dapat menjawab, dibuat kehabisan kata sekaligus penasaran akan kalimat Renjun barusan.

"Kalian ... pernah ngalamin hal yang sama?"

"Nanti bakal gue jelasin kalo semuanya udah selesai," ujar Jaemin meyakinkan. "Sekarang kita coba ke rumah yang lain dulu."

Renjun melirik Jeno. "Coba lo lacak nomornya Jeongwoo, kan lo pinter begituan."

"Iya, entar," balas Jeno. "Sekarang ayo jalan."

Mereka lantas masuk ke dalam mobil dan Jaemin selaku pengemudi bergegas menginjak pedal gas, membuat mobil melaju menembus jalanan.

Jaemin melirik lelaki di sampingnya sekilas, dia nampak duduk dengan gelisah karna mengkhawatirkan teman-temannya. Pemuda itu, terlihat seperti Jaemin yang sedang kalut pada beberapa waktu lalu karna Jisung menghilang, kemudian ditemukan tewas.

Jaemin menggenggam stir dengan kuat, membuat kuku jarinya memutih karna perasaannya mendadak tak baik. Rasa sedih dan amarah yang berusaha Jaemin pendam ternyata belum benar-benar padam.

Jika malam itu, Jaemin gagal menyelamatkan Jisung. Maka malam ini ia tak boleh mengulangi kesalahan yang sama , Jaemin harus bisa menyelamatkan Jeongwoo dan teman-temannya yang tersisa.

Jaemin dan yang lainnya tidak boleh gagal-














































-dan Park Jihoon tidak boleh berhasil.

Help | Treasure ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang