3.2

5.5K 1.3K 290
                                    

Lima hari berlalu sejak kematian Jihoon, namun kepergiannya masih membuat seseorang terus mengurung diri di kamar, menjadikan sakit sebagai alasan untuk menghindar dari dunia luar. Padahal ia hanya terus menangis di atas tempat tidur, memaki diri sendiri karna telah membuat Jihoon hancur.

Ia bodoh, terlalu takut jika kedoknya terbongkar hingga terpaksa berada di pihak lawan. Bahkan ia tak mencoba untuk menolong Jihoon keluar dari dalam gedung karna berpikir lelaki itu pasti punya cara untuk melarikan diri.

Ia selalu mengira jika Jihoon sehebat itu, padahal Jihoon juga manusia biasa. Ledakan sebesar itu tentu dapat merenggut nyawanya dalam sekejap mata.

Lelaki berahang kokoh itu meraih ponsel yang ada di atas nakas, membuka personal chat dengan Jihoon yang berisi deretan pesan suara, semua dikirim olehnya sebelum Jeongwoo datang malam itu.

Ia menekan layar ponsel hingga suara dentingan berbunyi, menandakan pesan itu sudah mulai diputar.

"Lagi seru banget di birthday party temen lo itu, ya? Sampe telpon gue nggak diangkat dan chat juga nggak dibales," protes Jihoon sebagai pembuka pesan. "Tapi nggak papa, have fun. Gue mau spam voice note, dengerin nanti kalo ada waktu. Nggak usah nanya kenapa, gue cuma pengen aja."

Suara Jihoon terdengar seperti biasa, namun kali ini memberi efek yang berbeda di telinga setelah dirinya tiada.

"Malam ini gue bakal selesaiin semua, dan sebenernya gue harap lo ada di sini. Tapi karna nggak bisa, gue bakal ngucapin makasih sekarang juga.

Makasih karna udah bantu gue, ya. Kerja lo bagus pas nyamar buat nangkep Yoshi sama Mashiho, dan gue salut karna lo udah mau bangun tengah malam buat bantu gue bunuh Junghwan sama Asahi. Lo beneran membantu gue selama ini."

Suara dentingan kembali terdengar karna pesan suara selanjutnya mulai diputar.

"Maaf kalo kalimat gue waktu itu, terkesan ngancam lo. Gue cuma pengen dibantu, karna gimanapun gue nggak bisa sendiri. Bukan karna gue lemah, tapi sepi aja rasanya."

Jihoon tak pernah mau terlihat lemah. Ia ingin selalu dipandang sebagai orang kuat yang tak membutuhkan bantuan apapun, dan ya, dia memang sekuat itu.

"Gue nggak mungkin penjarain lo walau lo nggak mau bantuin gue waktu itu. Bahkan kalo gue ketauan atas kejahatan yang udah kita berdua lakuin, gue bakal nyerahin diri gue sendiri."

Lelaki itu tersenyum tipis, merasa senang namun hatinya juga teriris. Tak ada kata yang menyatakan jika Jihoon menyayanginya dari apa yang baru saja ia dengar, tapi ia dapat merasakan kasih sayang yang amat besar.

"Gue minta maaf, ya..."

Jihoon menggantungkan ucapannya sebentar, membuat lelaki itu menunggu dengan sedikit tak sabar.






































"Maaf karna udah bunuh Jisung."


































Jisung, nama yang paling ia benci kembali terdengar, mengingatkannya pada kejadian beberapa bulan lalu dan kembali membuka luka yang sudah mulai pudar.

"Semenjak gue ngebunuh Jisung, hubungan kita jadi renggang. Gue paham kalo lo marah, karna lo cuma mau gue neror dia. Tapi seharusnya lo nggak perlu ngerasa bersalah, karna gue yang ngebunuh dia, bukan lo."

Lelaki itu membenci Jisung dan setuju jika Jihoon ingin menerornya sebagai pembalasan, namun ia sama sekali tak berekspektasi, jika Jihoon akan bertindak terlalu jauh sampai membuatnya mati.

Ia memang tak ikut campur, hanya menikmati permainan yang Jihoon ciptakan untuk membuat Jisung sedikit hancur. Namun rasa bersalah itu tetap ada, ia merasa Jihoon membunuh Jisung karna keinginannya. Artinya, ia adalah akar dari kematian temannya sendiri.

Seandainya ia tidak meminta Jihoon untuk meneror Jisung, maka kehidupan lelaki itu masih berlangsung.

"Gue nggak pernah ngasih tau ini, karna takut lo makin ngerasa bersalah atas kematian Jisung. Tapi harus gue akui, gue ngebunuh Jisung karna lo," ujar Jihoon yang berhasil membuatnya kembali dirudung bersalah. "Tepatnya karna demi keselamatan lo."

Kening pemuda tersebut berkerut, bingung dengan apa yang Jihoon maksud.

"Jisung punya niat buat bunuh lo, makanya gue bunuh dia duluan."

Ponsel lelaki itu nyaris jatuh jika ia tak buru-buru mengeratkan pegangan, pernyataan yang keluar dari mulut Jihoon membuatnya terkejut hingga buru-buru menekan layar untuk membuka pesan suara selanjutnya.

"Sebelum neror Jisung, gue coba cari tau sedikit tentang dia. Dan ternyata, Jisung nggak sebaik itu. Dia sering kasar dan semena-mena sama asisten di rumahnya. Dan dia juga pernah ngebully orang sampe sekarat, tapi selamat dari polisi karna uang orangtuanya.

Jisung temenan sama kalian karna kalian anak famous, nggak bakal bikin dia malu. Tapi dia tau, lo nggak suka sama dia dan dia juga gitu. Makanya Jisung berusaha ngedeketin temen deket lo.

Feeling lo nggak salah, Jisung emang berusaha ngejauhin Jaemin dari lo, bahkan yang lain juga. Dia pengen ngebuang lo dari lingkar pertemanan kalian secara perlahan."

Jihoon tahu Jaemin, bahkan semua teman-temannya, tapi hanya sebatas nama karna ia tak pernah mempertemukan mereka. Jihoon amat mudah untuk disukai, membuatnya takut akan tersaingi. Ia tak mau teman-temannya direbut, meski tahu Jihoon tak mungkin melakukan hal tersebut.

Jihoon hanya tahu wajah Haechan, Chenle, dan Jisung setelah berniat untuk membantu lelaki itu memberi teror.

"Jisung pernah coba ngerusak rem mobil lo, tapi gagal karna hantu suruhan gue yang selalu jagain lo berhasil nakutin dia. Dan karna itu, gue ngebunuh Jisung sebelum lo kenapa-napa.

Iya, gue seharusnya nggak main bunuh gitu aja. Tapi gue nggak bakal mikir dua kali buat bunuh siapapun yang bisa bikin lo dalam bahaya."

Jihoon masih tetap sama sejak dulu, selalu berhasil membuatnya merasa dicintai tanpa perlu pernyataan secara langsung. Namun kali ini, caranya salah dan tak patut untuk dipuji.

"Setelah mama nggak ada, lo satu-satunya alasan gue buat tetap bertahan. Kalo nggak ada lo, mungkin gue udah nyerah dari dulu. Jadi makasih banyak, ya? Kita mungkin seumuran, tapi karna lo manja, gue jadi nganggep lo kayak adek sendiri."

Jihoon tertawa pelan, membuat air mata lelaki itu nyaris jatuh ke bawah. Ia jadi membayangkan bagaimana mata Jihoon yang menyipit saat tertawa, seperti dirinya.

"Setelah semua ini selesai, gue nggak tau gue bakal gimana. Kalo gue beneran ditangkep polisi dan harus jauh dari lo, tolong jaga diri baik-baik, ya."

















































"Dan tolong jangan jadi kayak gue, live well, Lee Jeno."

Help | Treasure ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang