2.9

5.7K 1.5K 183
                                    

"Kenapa lo nggak mau ikut keluar?" Jeongwoo memecah keheningan usai semua orang benar-benar pergi, menyisakan dirinya dan Jihoon di ruangan sunyi ini.

"Bukan urusan lo," balas Jihoon ketus.

Jeongwoo memperhatikan Jihoon yang terbaring di lantai dengan wajah pucat karna kekurangan darah. Rasanya tak tega, tapi tak ada yang bisa ia lakukan, dirinya juga diambang kematian.

"Lo ngelakuin semua ini, murni karna pengen balas dendam sama gue?"

"Iya."

"Segitu bencinya lo sama gue?"

"Lebih dari yang lo kira." Jihoon meringis, mulai merasa kehilangan tenaga untuk sekadar bersuara. "Gue benci banget sama lo dan nggak suka lo hidup dengan baik setelah apa yang lo lakuin."

"Gue nggak hidup dengan baik, gue cuma berusaha terlihat begitu."

Jihoon dilanda bingung kala mendengar itu. "Maksud lo?"

"Orang bilang, selingkuh itu kebiasaan yang susah hilang. Dan itu bener, karna papa sama mama terus ngulangin kesalahan yang sama." Jeongwoo berbagi cerita yang selama ini ia pendam sendirian dan Jihoon jadi orang pertama yang akan mendengarkan. "Dari gue kecil, mereka berdua sering selingkuh dan beberapa kali ketauan. Awalnya mereka berantem karna hal itu, sampe akhirnya mulai biasa. Mereka nggak cerai karna males nikah lagi, tapi tetap cari hiburan di luar sampe saat ini."

Bibir Jihoon terkatup rapat, tak tahu harus memberi respon apa. Ia baru tahu tentang itu, karna selama ini ia memang tak pernah mencari tahu banyak hal tentang ayah dan selingkuhannya. Jihoon hanya berusaha mencari tahu tentang Jeongwoo—target utamanya.

"Selama ini gue mikir, gue punya salah apa sampe dikasih keluarga kayak gini. Dan sekarang gue tau, gue udah bikin kesalahan bahkan sebelum dilahirkan." Jeongwoo tertawa hambar. "Lo nggak perlu repot-repot balas dendam, karna dari dulu gue udah dapat karma atas hancurnya lo, Bang."

Jeongwoo memandang lurus ke arah Jihoon, menunggu respon yang akan lelaki itu berikan, namun tak ada balasan apapun yang didapatkan.

"Kita sama-sama sakit, harusnya saling ngerangkul buat sembuh bareng." Jeongwoo kembali melanjutkan. "Kita punya temen yang sama, tapi mandang mereka dengan cara yang beda. Gue nganggep mereka rumah, tapi lo malah nganggep mereka alat balas dendam. Seandainya lo mandang mereka dengan cara yang sama kayak gue, kita bisa sembuh bareng dan masih sama-sama dengan mereka sekarang."

"Jadi lo nyalahin gue?"

"Kita berdua salah," balas Jeongwoo tanpa takut, meluruskan maksud dari kalimatnya. "Gue salah atas hancurnya lo, dan lo salah karna udah bunuh temen-temen kita. Kalo lo benci gue, harusnya bunuh gue aja. Temen kita yang udah lo bunuh, nggak salah apa-apa."

Jihoon tak dapat membalas, namun rasa bersalah itu mulai muncul dalam dirinya. Ia tahu, seharusnya ia hanya harus membunuh Jeongwoo, tidak dengan yang lain. Namun dendam yang terlalu dalam, mengubah dirinya menjadi amat kejam. Logikanya tertutup amarah dan benci, membuat Jihoon tak sungkan untuk bermain darah dan membunuh teman sendiri.

Jihoon terlalu egois, membalas rasa sakit dengan mengorbankan orang yang sama sekali tak terkait.

"Gue minta maaf." Jeongwoo kembali bicara dengan suara yang sedikit bergetar. "Maaf karna udah ngehancurin lo."

Jihoon tak menjawab, terlalu lemas. Ia memilih menutup matanya yang terasa berat, seperti sedang dilanda kantuk hebat.

"Maaf karna lo harus punya adek kayak gue." Jeongwoo memberi jeda sejenak. "Tapi jujur aja, gue seneng punya abang kayak lo."

Suara Jeongwoo kembali terdengar, bersamaan dengan tubuh Jihoon yang mulai terasa ringan seperti akan melayang ke udara. Beberapa titik tubuhnya yang terluka dan sakit luar biasa, kini mulai tak terasa.

"Kalo ada kesempatan, jadi abang gue lagi di kehidupan selanjutnya, ya? Semoga aja kita bisa jadi saudara kandung dan punya orangtua yang baik."

Suara itu terdengar samar di telinga Jihoon, namun dalam hati, ia justru mengaminkan. Jihoon sendiri tak mengerti, ia mengaminkan untuk terlahir kembali sebagai saudara Jeongwoo, mendapat orangtua yang baik, atau justru keduanya?

"Sekali lagi, gue minta maaf, Bang Jihoon."

Itulah kalimat terakhir yang Jihoon dengar dengan samar, karna setelah itu, ia benar-benar kehilangan kesadaran.

••••

Ketika keluar dari gedung terbengkalai itu, Junkyu dan Doyoung berusaha menyeret Jaehyuk untuk masuk ke dalam mobil dengan Jeno yang telah duduk di kursi kemudi.

Jeno memang tidak ikut ke dalam karna Jaemin meminta salah satu di antara mereka untuk tetap di luar, memeriksa keadaan sekitar sekaligus bersiap siaga apabila ada keadaan mengancam. Jika semuanya masuk, tak ada yang bisa diharapkan untuk mencari bantuan apabila terjadi sesuatu di dalam.

Dan sesuai perkiraan Jaemin, Jeno yang sejak tadi berkeliling di sekitar gedung untuk memeriksa keadaan, menemukan sebuah bom sehingga langsung mengabari Renjun lewat pesan singkat.

"Jihoon sama Jeongwoo mana?" tanya Jeno kala Jaemin selaku orang terakhir yang masuk ke dalam mobil telah duduk di sampingnya.

"Nggak bisa diselamatin."

Jeno melotot kaget. "Maksud lo?"

"Udah jalan dulu, bomnya mau meledak!" pekik Renjun, panik sendiri.

"Tapi—"

"JALAN, JENO!"

Bentakan Renjun membuat Jeno terdiam, tangannya yang gemetar mulai memegang stir dan menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi, menjauhi gedung agar tak terkena ledakan dari bom yang telah terpasang sejak tadi.

Sedangkan di kursi tengah, Jaehyuk masih terus memberontak untuk melepaskan diri.

"Jaehyuk, sadar! Kita bisa mati kalo terus di sana!" Junkyu mulai terpancing emosi karna Jaehyuk tak bisa diam dan dirinya mulai kewalahan.

"Lo yang sadar, kita baru aja ninggalin Jeongwoo di tempat yang bisa bikin dia mati!" balas Jaehyuk tak kalah emosi. "Kalian tuh egois!"

"Kita nggak punya pilihan lain, Jae—"

Satu pukulan melayang ke rahang Junkyu, menimbulkan rasa nyeri hingga tubuhnya terhuyung ke samping dan menghimpit Renjun. Jaehyuk juga menendang Junkyu di bagian perut untuk melumpuhkan pergerakan sekaligus menciptakan jarak di antara mereka, kemudian ia bergegas membuka pintu mobil yang kebetulan lupa dikunci oleh sang pengemudi, membuat Jeno terkejut dan seketika berhenti.

Jaehyuk melompat turun usai menyingkirkan Doyoung yang duduk dekat pintu, lalu berlari menuju ke arah gedung tua tersebut sambil merapalkan doa, berharap waktu berjalan sedikit lambat agar ia bisa menyelamatkan Jeongwoo dari dalam sana.





































Tapi terlambat.

































Jaehyuk berhenti bergerak kala melihat gedung itu meledak. Beberapa puing bangunan terlempar ke berbagai arah bersamaan dengan serpihan kaca jendela yang pecah, dan api dari bom yang baru saja meledak mulai melahap bangunan tersebut;

Juga Jeongwoo dan Jihoon yang ada di dalamnya.

Help | Treasure ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang