Ch. 2

157 29 8
                                    

⚔️ SEHUN⚔️


Mayat siren yang berdarah itu terbaring digeladak kapalku.

"Bukankah harusnya dia sudah meleleh sekarang?" tanya Dongma, dia merupakan salah satu awak yang kupercayai.

Dongma berusia sekitar awal empat puluhan. Dia tinggi, berbadan kekar, dan berjenggot tipis. Di musim panas ini, dia hanya mengenakan baju putih, rompi, dan celana yang dipotong pendek.

"Melihatnya saja membuatku aneh" komentar Dongma. "Tubuh bagian atasnya sungguh mirip manusia"

Dia lantas segera mengalihkan perhatiannya dari mayat siren perempuan itu.

Aku paham maksudnya, tapi setelah sekian lama melaut, aku lupa bagaimana merasa takut.

Aku tidak pernah menatap siren dibagian selain sirip dan bibir merah darah mereka, atau mata yang bersinar dengan dua warna berbeda.

Orang seperti Dongma, yang merupakan orang baik. Bisa melihat makhluk ini menjadi berbagai sosok; perempuan dan gadis, ibu dan anak.

Tetapi aku hanya bisa melihat mereka sebagaimana adanya; monster dan binatang buas, hewan dan iblis. Karena aku, bukan orang baik.

Didepan kami, kulit siren mulai terurai. Rambutnya meleleh menjadi hijau laut dan sisiknya menjadi buih. Bahkan darahnya, yang baru saja menodai geladak Sahn, mulai mebuih hingga yang tersisa hanya busa laut. Dan semenit kemudian, busa itu juga lenyap.

Aku bersyukur untuk itu. Ketika siren tewas, dia berubah kembali menjadi lautan, sehingga tidak perlu ada pembakaran tubuh yang tak layak. Atau tidak perlu menceburkan mayat busuknya ke laut.

"Sekarang apa, kapten?"

Kai menyarungkan kembali pedangnya dan memposisikan diri disebelah Eunji, orang terpacayaku lainnya. Eunji adalah seorang pembunuh terlatih.

Aku melontarkan senyum kepada Kai. Aku senang dipanggil kapten. Apa saja selain Paduka, Pangeran, Yang Mulai Sir Sehun Midas, apapun yang kerap dilontarkan orang fanatik diantara bungkukan tanpa henti.

Kapten, cocok bagiku. Tidak seperti gelarku, lagi pula aku lebih mirip seorang bajak laut daripada pangeran.

Diumur ke sembilan belas tahunku ini, aku tak mengenal apapun sebaik aku mengenal lautan. Ketika berada di Midas, tubuhku selalu mendambakan tidur. Terlalu lelah untuk percakapan dengan orang istana.

Ketika berada di Sahn, aku hampir tak pernah tidur, seperti tidak pernah cukup letih. Selalu ada dengung dan denyutan. Aku selalu waspada dan dipenuhi semangat menggelisahkan, sehingga sementara yang lain tertidur, aku berbaring digeladak dan menghitung bintang.

Aku selalu memikirkan tempat yang pernah kupijak dan akan kupijak. Mengenai semua laut dan samudra yang belum kudatangi dan orang-orang yang belum kurekrut dan iblis yang belum kubantai.

Sensasi itu tak pernah berhenti, bahkan ketika laut menjadikan mematikan. Bahkan sewaktu aku mendengar lagu familiar yang menampar jiwaku dan membuatku meyakini cinta seakan baru pertama kali merasakannya. Bahaya hanya membuatku lebih dahaga lagi.

Sebagai Sehun Midas, putra mahkota dan ahli waris takhta kerajaan Midas, aku sangat membosankan. Topik percakapan yang biasanya mencakup soal negara, kekayaan, pesta dansa, gadis mana yang gaunnya lebih bagus.

Setiap aku berlabuh di Midas dan terpaksa menjalankan peran itu, rasanya aku hanya membuang waktu. Kesempatan yang hilang, atau nyawa tak terselamatkan. Itu sama saja aku mengumpankan satu lagi anggota keluarga kerajaan pada Sang Kutukan Pangeran.

Sang Kutukan Pangeran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang