Ch. 42

73 24 11
                                    

⚜️ JIYEON ⚜️


Aku berlari sangat kencang, lebih dari yang mampu kulakukan.

Melewati labirin istana es dan terowongan tempat awak kapal sehun masih terlelap.

Aku berlari hingga rasanya tak seperti berlari, tapi seolah aku mengambang.

Terbang. Berenang melintasi labirin mirip yang kulakukan dilautan.

Aku berlari sampai menghirup aroma air dan melihat cahaya mengintip dari ujung jalan setapak.

Aku tak tahu, komentar apa yang akan dilontarkan Sehun. Atau bagaimana ekspresi kecewanya ketika tahu selama ini dia telah dikhianati.

Tetapi aku masih ingin mempercayai, kemungkinan bahwa pengkhianatan tentang identitasku tidak meruntuhkan jembatan apapun yang terbangun sendiri diantara kami.

Aku menghambur keluar dari istana es tanpa membawa apa-apa, tanganku hanya mengerat pada saku mantelku, pada belati, pemberian sehun

Dan heeyeon sepertinya mengetahui itu, sebab dia membiarkanku. Tapi yang membuatnya bingung, aku tak menggunakan belati itu untuk melawannya.

Soal Mata, aku meninggalkannya disana dengan suatu alasan

Dan biarlah sehun berpikir Mata aman bersamanya, bahwa dia memilikinya.

Setidaknya dia tidak akan mengejarku. Biarlah aku pergi sebagai seorang penipu, bukan pencuri.

Setelah berhasil keluar, aku mengambil dayung salah satu perahu kecil,

Aku tiba diseberang jagang dengan terengah-engah dan mencengkeram kalung cangkang kerang.

Lekukan tebalnya menekan ditelapak tanganku selagi aku mempertimbangkan pilihan yang ada di depanku.

Aku lalu mencelupkan kalung itu ke dalam air, seperti yang biasa kulakukan untuk memanggil jieun, tapi kali ini aku berkonsentrasi pada bayangan Ibuku.

Aku memanggilnya didalam benakku, cukup nyaring untuk menembus gunung dan menyebar di seantero laut.

Awalnya, aku tak yakin itu akan berhasil, tapi kemudian air mulai menggelegak dan disekelilingku es yang berserakan mulai mencair.

Rasanya menyengat seperti api tak kasatmata dan air menyembur naik.

Aliran hitam bagaikan bayangan tumpah memasuki cahaya.

Aku mendengar senandung familiar dan kemudian, sudah pasti, suara tawa.

Dari dalam neraka itu, Ibuku muncul.

Dia masih cantik, seperti layaknya semua ratu siren, dan menakutkan dengan cara yang hanya bisa dilakukan dia seorang.

Matanya menyapu mataku, dan jemari panjangnya membelai trisula dengan sayang.

Seluruh kekuasaan di dunia ada di ujung jemarinya, siap memaksa lautan dan monster didalamnya untuk mematuhi perintahnya.

Untuk suatu alasan, kini dia tampak asing bagiku.

Ratu Laut tersenyum dengan cara yang tidak sama sekali manis, "Kau akan bicara?"

Aku menoleh kembali ke istana, berharap krystal dapat mengulur waktu seperti yang dia katakan.

Kulihat pintu masuk tetap lenggang, air tetap tenang dibawahnya dan Ratu Laut terus menunggu.

"Ibu tahu kita dimana?"

Dia mengedarkan tatapan tak peduli ke sekeliling, sambil menggenggam trisulanya.

Hampir tidak ada kerlip dimatanya ketika menjawab, "Gunung Awan"

Sang Kutukan Pangeran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang