Ch. 19

98 26 18
                                    

⚜️ JIYEON⚜️


Aku menatap cangkang kerangku. Aku tak bisa membayangkan jika sehun mengetahui fungsi dan kegunaan benda ini, yang untungnya dia tidak terlalu cerdik untuk mengetahuinya.

Dan Kerajaan Laut Keto pun akan tetap tersembunyi dari manusia, hilang dalam labirin lautan dan sihir yang dianyam oleh sang Dewi sendiri. Aku lega.

Aku butuh hampir satu jam untuk menemukan Lake Eiffel.

Diperjalanan selalu saja ada yang menghentikanku, lebih dari selusin penduduk lokal menawariku makanan dan pakaian.

Aku tahu, pasti ada sesuatu pada diri seorang gadis yang berkeliaran sendirian dengan gaun kumal dan sepatu bajak laut usang yang membuat mereka resah.

Aku yakin merenggut jantung mereka akan lebih meresahkan.

~~

Lake Eiffel adalah air terjun laguna jernih, yang dikejauhan mengalir ke lautan. Aku bahkan bisa mendengarnya sebelum melihatnya.

Bunyinya mirip guntur dan ada beberapa detik keraguan sebelum aku yakin apa itu.

Tetapi, semakin dekat aku, bunyi itu semakin jelas. Air yang begitu kuat sehingga mengirimkan getaran pada sekujur tubuhku

Aku duduk diam disana, kakiku menjuntai dari bibir laguna. Sangat hangat sehingga aku terpaksa mengeluarkan kaki dan mengistirahatkannya dirumput lembap.

Di dasar laguna, ada ribuan koin logam merah. Mengintip dari pasir mirip tetesan kecil darah.

Aku meraba cangkang kerang dengan ibu jari. Menempelkannya ke telinga tak mendatangkan apa-apa, kecuali keheningan tak tertahankan.

Aku sudah mencobanya sejak sehun meninggalkanku di pasar. Dalam perjalanan menuju air terjun, aku memegangi cangkang ditelinga, berharap seiring berjalannya waktu, cangkang itu akan berbicara denganku lagi.

Ada saat-saat ketika aku hampir menipu diri sendiri hingga merasa bisa mendengar gaung ombak. Gemuruh badai laut. Atau tawa gelak ibuku. Tetapi, sesungguhnya, satu-satunya suara hanyalah  denging telingaku.

Semua kekuatan itu lenyap.

Ada amarah yang merayap ditubuhku.

Aku mencengkram cangkang lebih erat. Aku ingin merasakannya menyerpih ke kulitku. Retak dan remuk tanpa sisa.

Tetapi ketika aku membuka genggaman, cangkang itu masih utuh, tak rusak, dan yang tersisa hanya bekas tekanannya ditelapak tanganku.

Sambil menjerit, kuangkat lengan tinggi-tinggi ke atas kepala dan ku lemparkan cangkang itu ke air, yang mendarat disertai bunyi ceburan antiklimaks dan kemudian tenggelam perlahan ke dasar.

Aku bisa melihat setiap momennya meluncur lamban hingga akhirnya mendarat didasar laguna.

Kemudian ada cahaya. Awalnya samar, tapi tak lama kemudian memecah menjadi bola cahaya dan bara. Aku beringsut mundur.

Selama menggunakan cangkang kerang untuk berkomunikasi dengan siren lain, atau bahkan sebagai kompas menuju kerajaanku, aku jarang menyaksikan hal semacam ini.

Cangkangku memanggil seakan bisa merasakan keputus-asaanku, meraih ke dalam air mencari-cari bangsaku. Bukannya menjadi peta, cangkang kerang itu berfungsi sebagai suar.

Dan kemudian, dalam sekejap, siren muncul. Jieun muncul dengan rambut yang tergerai menutupi wajahnya, sehingga tatapan kami tidak bisa beradu.

Aku terloncat bangkit, "Jieun" ucapku takjub, "Kau disini"

Sang Kutukan Pangeran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang