Makan siang (bab 7)

1.3K 147 38
                                    

Aku segera mengemasi buku pelajaranku ketika lonceng bunyi empat kali. Tanda kegiatan belajar mengajar telah usai. Di sekolah baruku ini jam belajar berakhir pukul 13.30. Jauh berbeda dengan sekolah lamaku yang menerapkan sistem belajar full day.

Selesai memasukan semua buku-buku dalam tas aku segera bangkit berdiri.

"Djian ..." panggil Nina teman sekelasku.

"Hari ini kita mau belajar kelompok, mau ikut gak?" Ada dua temanku yang lain di samping Nina.

"Pengen sih, tapi ... kayaknya lain kali deh, aku gak bisa ikut untuk saat-saat ini." jawabku sambil memasang wajah sedih.

"Kamu kenapa sih, belakangan ini kayaknya jarang banget deh ikut belajar kelompok. Kamu sibuk apa sih?" Nina terlihat kecewa dengan jawabanku.

"Aku sibuk bantu-bantu kakek di rumah." Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada teman-temanku. Bahwa aku sekarang ini sibuk jadi pembantu paruh waktu di rumah besar yang tak jauh dari sekolahan.

"Apa iya setiap hari kamu bantu Kakek jualan sayuran, kamu gak punya waktu lagi dong belajar kelompok sama kita-kita."

"Ya mau bagaimana lagi. Kakekku sudah tua, jadi aku harus banyak bantu dia." Berharap teman-temanku percaya.

"Oke deh Djian gak apa-apa kok, Nina kamu gak boleh maksa gitu. Djian benar dia harus lebih mementingkan bantu kakeknya," sahut temanku yang lain. Dia bernama Fadli.

"Aku gak bermaksud maksa Djian, aku hanya pengen dia bisa belajar kelompok bareng kita. Dia kan pintar." Nina menundukkan kepala.

"Ahhh .... Sudah gak apa-apa, lain kali aku akan sempatkan untuk belajar bareng kalian oke," hiburku pada teman-temanku.

"Kalau gitu aku duluan ya," pamitku pada ketiga teman sekelasku.

Mereka bertiga menganggukan kepala hampir bersamaan. Kemudian aku keluar kelas lalu berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda miniku. Aku tidak malu, sekalipun aku ini cowok tapi aku tetap percaya diri kemana-mana naik sepeda mini. Yang seharusnya lebih cocok untuk anak perempuan.

Sejak hidup bersama Kakek aku belajar hidup sederhana dan apa adanya. Berbeda sekali ketika dulu masih hidup dengan kedua orangtuaku. Hidupku serba kecukupan. Sekarang aku tidak lagi hidup di kota jadi aku harus menyesuaikan diri.

Aku mengayuh sepedaku, memutar arah tidak melewati jalan yang biasa aku lalui. Kali ini aku melewati jalan menuju rumah tempatku kerja sebagai pembantu. Kali ini aku tidak pulang dulu ke rumah Kakek, tadi pagi aku sudah berpamitan pada Kakek kalau kemungkinan besar aku tidak pulang dulu. Aku langsung menuju rumah tempatku bekerja.

Aku harus mencoba cara ini, Karena pria sombong penghuni rumah itu selalu protes jika aku telat datang walau hanya lima menit saja. 'waktu itu sangat penting!' itu adalah kalimat yang selalu diucapkan jika aku telat datang. Pria itu sama sekali tidak memikirkan aku juga butuh makan siang, butuh ganti baju dan lainnya.

Oh ya aku sudah beberapa hari kerja pada pria sombong itu. Jangan tanya bagaimana dia. Semakin hari sikapnya semakin menyebalkan. Teriak-teriak tidak jelas. Marah jika aku melakukan kesalahan kecil saja. Satu lagi yang paling menguji kesabaranku, dia akan menyuruhku untuk mengulang pekerjaan jika apa yang aku kerjakan tidak sesuai dengan standar kebersihannya.

Sesampainya di depan rumah Om Andaru aku berhenti sebentar, lalu aku menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada teman sekolah ada di sekitar sini. Setelah kupastikan aman, aku segera masuk halaman rumah.

Aku tidak perlu mengetuk pintu, aku bisa masuk rumah besar ini kapan saja karena aku punya kunci cadangan.

Grek

Trust Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang