Dia teman kita (Bab 44)

794 116 8
                                    

Djian melangkah santai menyusuri track lari pagi di taman kota. Sudah menjadi kebiasaan Djian setiap hari Minggu ia menyempatkan diri untuk olahraga lari pagi di kawasan hijau, meskipun sedikit jauh dari tempat tinggalnya.

Ketika sedang lari-lari kecil Djian melihat seseorang yang dikenalnya duduk termenung seorang diri di kursi kayu bawah pohon. Orang itu menatap lurus ke depan, tampak sedang melamun, sampai tidak menyadari kedatangan Djian di dekatnya.

"Pak," sapa Djian pelan dan berhati-hati.

Pria itu menoleh perlahan, keningnya berkerut seperti sedang mengingat-ingat siapa orang di depannya saat ini. Beberapa detik kemudian ia tersenyum lebar.

"Djian, kan?" tanyanya seraya tersenyum senang.

Djian mengangguk lalu mendudukkan badannya di sebelah pria yang ternyata Sajadewa Natanegara.

"Apa kabar, anak muda?" Wajah Sajadewa terlihat senang bibirnya terus tersenyum.

"Saya baik, " jawab Djian lembut seraya mengulas senyum. "Bapak sendiri bagaimana?"

"Ah, seperti yang kamu lihat, saya sehat dan bugar."

"Syukurlah, Bapak sering ke sini?"

"Tidak juga, kalau saya lagi mau saja datang ke tempat ini."

"Pantas, baru dua kali saya melihat bapak di sini. Saya hampir setiap hari Minggu datang ke sini."

"Yah, kamu masih muda, harus banyak olahraga. Anakku juga suka olahraga, tapi dia lebih suka olahraga di tempat gym dari pada di tempat terbuka seperti ini. Heh anak itu ...." Senyum di wajah Sajadewa meredup, matanya menatap lurus ke depan.

Djian menunduk, meremas lututnya sendiri saat Sajadewa menyinggung soal anaknya. Sekarang Djian tahu, anak yang dimaksud adalah Andaru.

"Bagaimana bisnismu?" tanya Sajadewa setelah beberapa saat hening.

Djian mengangkat wajahnya, menatap pria tua yang juga melihatnya dengan tatapan lembut. Djian terdiam, ia teringat kakeknya. Tatapan itu sama persis seperti kakek yang bertanya bagaimana sekolahmu?

"Baik, Kek ...." tanpa sadar bibir Djian memanggil Sajadewa dengan sebutan kakek.

Djian cepat-cepat meralat. "Maksud saya, baik Pak. Bisnis saya lumayan, sejak menerima job dari Bapak."

Sajadewa tersenyum senang, tiba-tiba satu tangan laki-laki tua itu terulur lalu mengusap kepala Djian dengan lembut. Disentuhnya rambut yang halus itu.

"Kamu kelihatan kerja keras sekali, saya suka kerjasama denganmu. Nanti kalau anakku menikah, aku akan menyarankan mereka menggunakan jasamu lagi."

Djian mengangguk pelan dan tersenyum pahit. "Dengan senang hati, saya tunggu mereka menghubungi saya."

Sajadewa menarik turun tangannya lalu mendesah pelan. Matanya kembali menatap lurus ke depan. Raut wajahnya berubah gusar.

"Entah, pernikahan itu akan terjadi atau tidak. Aku tidak yakin," ujarnya tiba-tiba. Keresahan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Tidak peduli mereka berdua belum lama saling mengenal. 

"Kenapa Bapak ragu?"

"Beberapa hari yang lalu Andaru anakku minta pertunangannya dibatalkan."

"Anak Bapak mungkin tidak menyukai wanita itu."

Sajadewa mengangguk. "Iya, sepertinya memang seperti itu. Padahal mereka adalah teman baik. Andaru itu sepertiku. Jika sudah mencintai satu orang, dia tidak akan mudah melupakannya. Sejak ibunya meninggal aku tidak menikah lagi, aku takut untuk menikah lagi, aku berpikir kalau aku menikah lagi, aku akan lupa pada istriku, ibunya. Kasihan sekali kalau aku sampai melupakannya, tapi ..." Sajadewa berhenti berbicara. Ia lantas menoleh ke arah Djian yang menatapnya dalam diam.

Trust Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang