Om, mau apa? (Bab 50)

806 78 8
                                    

Setelah acara makan malam Sajadewa dan Djian duduk berdua di ruang keluarga sambil minum teh hangat. Di atas meja ada beberapa camilan manis dan gurih buatan juru masak.

"Bagaimana masakan Andaru, enak?" Sajadewa bertanya sambil menyesap tehnya.

Pria lanjut usia itu melirik Djian, mengamati ekspresi pemuda yang saat ini juga sedang menyeruput teh hangat miliknya.

Perlahan Djian meletakkan cangkir teh di atas meja lalu menjawab dengan gugup. "Enak."

Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Djian.

"Cuma itu?" Mengangkat satu alis sambil melirik Djian.

"Iya, enak. Masakan anak Bapak enak," ujar Djian meyakinkan.

Sebenarnya Djian ingin mengatakan lebih dari itu, Djian ingin mengatakan dengan senyum lebar masakan Andaru sangat lezat, ia sangat merindukan masakan pria itu. Namun, Djian tidak mungkin mengucapkan kata-kata itu. Biar bagaimanapun Sajadewa tidak tahu hubungan antara dirinya dan Andaru. Setidaknya begitulah yang Djian pikir.

Sajadewa meletakkan cangkir tehnya di atas meja lalu tertawa kecil. "Djian ... Djian, aku cuma tanya begitu kenapa kamu terlihat tegang?" Pria itu tertawa sampai menyipitkan kedua matanya.

Djian tidak menyahut, pemuda itu hanya membalas dengan senyuman tipis lalu menunduk.

"Hari ini aku senang sekali, setelah sekian lama akhirnya aku dan Andaru bisa berdiri di dapur itu lagi. Memasak dan makan malam bersama. Aku tidak menyangka belakangan ini Andaru tidak terlalu mengabaikanku lagi.

Tampak jelas ada rasa lega dari raut muka laki-laki lanjut usia itu. Bibirnya tak henti mengulas senyum. Pria itu terlihat bahagia.

"Beberapa tahun ini hubunganku dengan Andaru tidak baik. Dia sibuk dengan dunianya sendiri, jarang pulang, jarang bicara denganku kalau bukan karena ada hal yang penting dan mendesak. Rumah ini terasa sepi tidak ada kehangatan. Tapi—" Sajadewa menoleh ke arah Djian yang saat itu sedang menatapnya sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Sekarang dia sedikit berubah, dia bahkan pulang cepat.  Harusnya dia seperti itu dari dulu. Biar bagaimanapun aku dan dia adalah keluarga."

Bibir Sajadewa kembali mengulas senyum tipis. Djian hanya menatap pria tua itu dengan iba. Ada gurat kesepian di usia senjanya. Djian bisa merasakan betapa menyiksanya itu, punya keluarga, tapi tidak saling bicara. Tiba-tiba Djian teringat akan Paman dan Bibinya. Sudah lama Djian tidak menghubungi keluarga dari papanya itu. Hatinya tergugah, mungkin saja Paman dan Bibinya juga berpikir seperti Sajadewa, yang lebih muda tidak pernah peduli. Djian jadi merasa bersalah. Dalam diam Djian mengatur waktu untuk mengunjungi Paman dan Bibinya suatu hari nanti.

"Tapi sekarang Om Ndaru, maksud saya Pak Andaru, eum .... " tiba-tiba Djian kebingungan bagaimana memanggil Andaru depan Sajadewa. Selama tinggal di rumah ini beberapa hari, Djian tidak pernah memanggil langsung Andaru di depannya.

"Sebut saja Om, dia memang sudah Om-Om kan?" Sajadewa tertawa kecil.

"Iya, Om Ndaru .... saya ikut senang hubungan Bapak dan Om Ndaru jadi lebih baik."

"Ya, sejak aku bertemu denganmu. Dan sejak kamu tinggal di rumah ini."

Untuk sejenak Djian tertegun. Matanya yang bulat menatap Sajadewa tanpa berkedip. Jantungnya berpacu lebih cepat.

Tatapan tajam Sajadewa membuat Djian tiba-tiba jadi gelisah dan gugup.

"Maksud Bapak?" Djian bertanya lirih.

Sambil tersenyum dan menepuk pelan lututnya sendiri Sajadewa menjawab, “Sejak kita berteman dan aku mengundangmu datang ke rumah ini, Andaru berubah. Dia jadi lebih sering bicara denganku."

Trust Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang