Kiss (bab 16)

1.3K 129 8
                                    

Udara dingin menerpa tubuh mungilnya, langit gelap, deras hujan basahi bumi sejak tadi. Sekarang ini remaja itu sedang berkutat dengan pekerjaannya. Djian punya tugas baru, sebelum tidur dia harus memastikan ruang dapur bersih, lantai keset tak ada rasa lengket bila dipijak karena minyak bekas memasak. Semua peralatan masak harus dalam keadaan kering dan tersimpan rapi dalam bufet.

Apa Djian lelah? Tentu saja, seharusnya jam segini dia sudah pergi masuk kamar dang mengerjakan tugas sekolahnya, bukannya berada di dapur membereskan semuanya. Tak habis pikir, mengapa memasak untuk dua orang saja si galak itu membuat kotor banyak peralatan masak. Jika seperti ini dia juga yang akan repot.

Hah ...sudahlah Djian tidak mau mengeluh soal ini lagi, percuma saja mengeluh, tak akan merubah apapun. Jalan yang terbaik adalah lakukan saja yang Pria galak itu minta. Walau terkadang perintahnya memberatkan dirinya.

Duarrr ...

Djian tersentak kaget saat suara guntur menggelegar di udara. Bersamaan dengan itu angin berhembus kencang, Djian buru-buru bergerak ke arah jendela yang belum sempat ia tutup. Dengan gerakan tergesa Djian menutup jendela serta gorden rapat-rapat memastikan dia tak bisa melihat kilat cahaya yang menyambar berulang kali. Djian takut, remaja itu takut bila hujan di malam hari yang disertai angin kencang serta petir.

Semakin lama hujan semakin deras, angin berhembus semakin kencang, Djian mempercepat gerakannya supaya pekerjaannya cepat selesai dan dia bisa masuk kedalam kamarnya. Satu persatu Djian mengeringkan piring dan gelas dengan serbet lalu ia susun dalam laci dapur. Tubuhnya kembali tersentak kala suara gemuruh keras dan petir datang beriringan. Jantung berdebar, bukan debar nikmat seperti saat sedang berdekatan dengan Andaru, kali ini debar karena rasa takut , tubuh mungilnya mulai gemetar.

Rasa takut mulai menyelimuti tiap sendinya. Djian semakin ketakutan ketika tiba-tiba lampu padam, ruangan jadi gelap gulita, hanya ada kilat cahaya petir yang masuk melalui celah jendela.

"Om Ndaru ..." panggil Djian dengan suara bergetar.

"Om Ndaru ..." panggil Djian lagi, suaranya lemah tertelan rasa takut. Perlahan ia meletakkan piring di tangannya, ia mundur beberapa langkah ke sudut dapur, merosot duduk meringkuk memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya sambil berkali-kali memanggil nama Andaru.

Djian memekik kaget ketika petir kembali menggelegar seolah tepat di samping telinganya.

"Mama ... Papa ..." tangis Djian pecah, remaja itu meringkuk menangis ketakutan, memanggil nama kedua orang tuanya yang telah tiada.

"Djian ..."

Djian mengangkat wajahnya saat mendengar suara Andaru memanggilnya.

"Om Ndaru," sahut Djian tanpa berpindah tempat.

"Kamu di mana?"

"Di dapur Om."

Andaru berjalan ke arah dapur sambil membawa lilin di tangannya. Dilihatanya Djian duduk meringkuk di sudut dapur.

"Kamu ngapain di sini?" berjongkok depan Djian, menerangi remaja itu dengan lilin di tangganya. Wajah Djian tampak pucat berkeringat dan berlinang air mata di pipinya.

"Aku takut ..." jawab Djian dengan suara lirih, dengan cepat ia meremas tangan Adaru yang bebas.

"Ayo berdiri, jangan di sini," ujar Andaru sambil mengajak Djian untuk bangkit berdiri.

"Ayo duduk di sana," mengajak Djian berjalan ke arah ruang tengah.

Djian meremas ujung baju piyama yang Andaru kenakan.

"Duduk sini," meletakkan lilin yang ia bawa ke atas meja.

Baru saja Djian mau duduk muncul kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan, sedetik kemudian suara dentuman guntur menggelegar seolah mampu membelah bumi.

Trust Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang