Rindu (bab 22)

1K 127 26
                                    

Keputusan Djian untuk kembali ke rumah kakek Jono bukan semata-mata karena kakinya yang sedang sakit. Ada hal lain yang membuat remaja itu memilih sementara di rumah kakeknya.

Djian sedang marah, kesal pada seseorang. Meskipun sebenarnya dia tidak punya hak untuk itu. Sepulangnya dari rumah Andaru Djian berubah. Dia jadi lebih pendiam dan Banyak melamun.

Melihat itu membuat kakek Jono menjadi khawatir. Pria itu bertanya-tanya apa gerangan yang membuat cucu semata wayangnya itu bermuram durja.

"Djian di mana Bihan?" tanya kakek Jono pada pemuda yang sedang menonton acara TV.

"Ada di kamarnya Kek?" sahut Bihan lalu bergeser untuk memberi kakek tempat duduk.

Pria berusia 73 tahun itu lantas duduk di samping Bihan.

"Ada apa dengan anak itu Bihan? Kenapa sejak kemarin dia kelihatan murung? Apa terjadi sesuatu di sekolah? Apa ada yang mengganggunya?"

Bihan mendesah pelan, lalu mengecilkan volume suara TV. "Aku juga kurang tahu Kek, tapi sepertinya bukan masalah di sekolah. Kakek lihat sendiri, tadi teman-temannya datang ke sini untuk melihat keadaannya. Mereka terlihat baik-baik saja."

"Terus kenapa Djian kelihatan sedih begitu? Apa dia tidak cerita sesuatu sama kamu?"

Bihan menggeleng.

"Kalau aku boleh menebak, sepertinya bertengkar dengan pemilik rumah besar itu," ujar Bihan menebak-nebak.

Kakek Jono mengerutkan kening.

"Nak Andaru?" kata kakek dengan wajah tidak percaya.

"Bertengkar kenapa sama Nak Ndaru? Laki-laki itu orang baik."

"Orang baik buat Kakek. Kalau untuk Djian, dia adalah pria menyebalkan menurutnya Kek."

"Eh, masa Djian sampai hari ini masih berpikir begitu?"

"Nyatanya setiap aku menyebut namanya Djian langsung marah."

Kakek Jono terdiam.

"Kakek jangan khawatir, mungkin bukan bertengkar serius. Kakek tahu sendiri watak Djian itu bagaimana."

"Kakek takut Djian bersikap tidak sopan pada Nak Andaru. Biar bagaimanapun Djian sedang bekerja di rumahnya untuk ganti rugi."

"Tenang Kek, Djian tidak akan bersikap melewati batas, mungkin besok pemilik rumah itu datang ke sini buat jemput Djian," ucap Bihan menenangkan kakek Jono.

Di dalam kamarnya Djian bergerak gelisah di atas kasur. Remaja itu membaca buku sambil tiduran. Namun, apa yang dia baca sama sekali tidak masuk ke dalam otaknya. Pikirannya penuh oleh nama seseorang. Andaru!

Djian sampai kesal pada diri sendiri. Mengapa dia terus memikirkan pria itu? Mengapa dia gelisah seperti ini? Ingin rasanya Djian berlari untuk kembali ke rumah besar itu dan bertemu dengan Andaru.

"Tdak melihatnya dua hari kenapa rasanya rindu sekali," keluh Djian pada diri sendiri. Remaja itu lantas menutup bukunya. Tidur tengkurap, tak berapa lama Djian berubah tidur terlentang. Menatap langit-langit kamarnya lalu mengacak rambutnya sendiri. Kakinya ia entakkan ke kasur berulang kali.

"Kenapa dia tidak datang ke sini untuk memintaku pulang ke rumahnya, dia tidak peduli dengan kakiku yang sakit. Dasar Om Om tidak punya perasaan," sesal Djian, meratapi Andaru yang tak peduli akan dirinya.

Di tempat berbeda, Andaru pun sama, pria itu resah. Sudah dua hari Djian tidak datang ke rumahnya. Tiba-tiba saja rumah besar itu kembali sepi. Walau ada dua orang teman yang menemaninya. Rasanya tetap tak sama, tidak ada remaja bertubuh mungil yang ke sana sini membersihkan setiap sudut rumahnya.

Trust Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang