"Minta duit."
Satu tangan kanan terulur pada seorang pemuda yang sebelumnya tengah fokus pada materi di layar laptop. Keningnya berkerut, mendongak perlahan untuk memastikan bahwa suara yang dia dengar benar-benar suara manusia. Bukan makhluk halus penunggu pohon durian sebelah rumah. Entah semenjak kapan rumor itu terdengar.
Pemuda itu tersentak, terlampau terkejut dengan seonggok manusia di sebelahnya. Berdiri dengan mata yang masih tertutup, bahkan tubuhnya terlihat sempoyongan. "Lo siapa? Maling ya?"
Beberapa saat dia terdiam, lantas menoleh pada bingkai foto di meja belajar. Menatap pemuda yang tengah berdiri dan bingkai bergantian. Dia menghela napas lega, mengusap dada sebab sudah berniat untuk menendang masa depan pemuda itu.
"Oh adek gue," gumamnya pelan. Dia lantas berdiri, menyamakan tingginya dengan pemuda yang empat tahun berada di bawahnya. "Ngigo lagi lo ya?"
Belum sempat mendapat jawaban, tubuh adiknya sudah meluruh. Beruntung dia segera menangkap tubuh tersebut sebelum menghantam keramik cokelat batik kesayangannya.
Ikhbar Karim namanya, panggil saja Ake karena terlalu panjang untuk disebut lengkap. Dia merupakan mahasiswa tingkat menengah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Iya, padahal sebelumnya dia ingin berada di ITB. Namun sayang, restu tidak berpihak. Membuatnya terjebak dengan manusia yang baru saja dia baringkan di kasur miliknya itu lagi. Dia bosan, sungguh. Kalau bisa, dia ingin menukar adiknya dengan satu toko batik.
"Awas aja lo kalau ngorok, gue simpel pakai kertas," kecamnya meski tidak terdengar oleh adiknya. Ake kembali ke meja belajar, duduk tenang dan fokus pada materi. Membiarkan adiknya tersebut tidur di kasur suci miliknya, tapi besok pagi, dia berniat untuk meminta asisten rumah tangga mereka untuk mencuci lagi.
Sedangkan sang adik mulai bergerak rusuh. Bantal dibuang dan selimut ditendang, merubah posisi menjadi tengkurap dengan kedua tangan lurus memenuhi tempat.
Ake membanting bolpoin, berdecak sebal karena suara dengkuran adiknya yang cukup keras. Dia berdiri dengan kasar, memutar tubuh hanya untuk menemukan tempat tidurnya berantakan dalam sekejap. Jika dirinya berada di kartun fiksi, mungkin saja wajahnya akan terlihat memerah dan di atas kepalanya terdapat kepulan asap. Ake yakin akan hal itu.
Langkah kakinya begitu lebar, sengaja dihentak-hentakkan sebagai wujud kekesalan. Pemuda itu menghela napas panjang. "Gue pikir seharian gak ketemu lo, hidup gue tenang. Tetep aja malemnya kayak begini. Bisa nggak sih anak ini dibalikin jadi berudu."
Meski bibirnya tidak berhenti mengomel, Ake tetap mengambil selimut dan bantal miliknya. Mengubah posisi tubuh adiknya agar lebih nyaman. Menaikkan selimut sampai ke bahu. Tangannya ditempelkan pada kening adiknya, membaca alfatihah entah untuk apa. Mungkin saja agar adiknya tersebut dapat segera sadar bahwa dosanya sangat-sangat banyak. Terlebih kepada seorang Ikhbar anak Pak Karim.
"Bismillah tobat ya Nak, Abang lelah sama kelakuan monyet ini."
"Mau duit."
Ake melotot mendengar gumaman tersebut. Dia menggelengkan kepala dramatis. Begitulah seorang Haridra Ishwar, tidak ada yang benar. Ada sih, sedikit. Itu pun hanya akan terlihat jika dipikirkan selama dua Minggu.
"Dasar ari-ari, gak melek gak merem, otaknya duit doang."
***
Berada tepat di depan pintu kelasnya, Issam menarik napas panjang. Sekolah masih sangat sepi di waktu yang baru menunjukkan enam lebih tiga puluh. Beruntung kelas Issam tidak berada di lorong sisi kanan yang saat itu terlihat sangat gelap, menyeramkan. Issam takut saja jika di sana nanti ada tante Kunti yang terpesona pada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISSAM (Lee haechan) ✔️
Teen FictionDi dalam hidupnya, Issam selalu menemukan kejutan-kejutan tidak terduga. Namun di antara kejutan itu, kenapa yang datang harus menyakitkan?