23. Sifat Asli Rian

694 101 17
                                    

Adam, Amara, dan Ake berkumpul di ruang keluarga. Dalam beberapa menit, tidak ada suara sama sekali. Kecuali isak tangis Amara yang sesekali masih terdengar, dan helaan napas kasar bentuk emosi tak terkontrol. Mereka sama-sama memikirkan solusi.

"Gimana, Bang? Udah ada kabar?"

Pertanyaan Adam membuka topik di ruangan ini, membuat Amara turut memerhatikan Ake. Ake menghela napas panjang, membuka kembali pesan yang bahkan baru beberapa detik lalu dia buka. Dia menggeleng, memberi tahu bahwa dia sama sekali tidak mendapatkan kabar.

"Kita harus cari dong, kita cari adeek. Bukan diem gini," ujar Amara mendesak Adam untuk segera bertindak. Air matanya seperti sudah habis sebab sejak kemarin tidak berhenti menangis.

"Kita harus hati-hati, kita nggak boleh gegabah." Tatapan Adam terlatih pada Ake. "Kamu pasti masih bingung kan sama semuanya?"

Ake mengangguk ragu, sejak beberapa hari yang lalu dia sudah ingin bertanya pada orangtuanya. Namun, Ake merasa waktunya tidak tepat. Tapi ketika hari ini dia melihat pertanda bahwa Adam akan menjawab kebingungannya, dia justru merasa tidak siap.

"Bang, kamu ingat pas kita liburan di Bandung? Waktu Adek sempet hilang saat itu."

Peristiwa yang cukup lama membuat Ake menerawang, mengingat-ingat momen mana yang dimaksud.

"Waktu itu Adek bukan tersesat atau hilang sendiri, tapi dia hampir dihilangkan dari kita. Beruntung di usia segitu, Adek kamu berani buat lari."

"Maksudnya?"

"Rian. Orang yang datang dan mengaku sebagai ayah dari Issam adalah orang yang menculik sementara adik kamu saat itu. Dia beranggapan bahwa Issam itu Daru," terang Adam membuat Ake cukup terkejut. Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia masih kebingungan.

"Tapi kenapa harus Issam?"

"Karena Issam dan anaknya lahir di waktu dan tempat yang sama. Adik kamu dianggap sebagai anaknya sejak lahir, Bang. Sejak di rumah sakit, orang itu sudah mengincarnya."

Begitu di akhir kalimat, Amara beranjak untuk kembali ke kamar. Dia tidak ingin mengingat lagi semua itu. Biarkan Adam menjelaskan, biarkan Ake paham dan mampu lebih kuat turut mempertahankan Issam. Sebab melawan Rian tidak cukup jika hanya mereka berdua saja yang melakukan.

"Anggap aja aku ngerti. Tapi kenapa kemarin Papa nggak berusaha buat ngejelasin semuanya ke Issam?"

"Saat itu masih ada Rian, Bang. Kontrol emosi orang itu sangat buruk. Nggak menutup kemungkinan bahwa dia akan melukai Issam ketika dia kesal. Karena itu Papa bilang buat kita hati-hati dalam bertindak," ujar Adam lantas menyenderkan tubuhnya. Memijit pelipisnya yang terasa pening tiba-tiba.

"Jadi ... Issam beneran adik aku kan?"

Adam mengangguk, membuat Ake menghela napas lega. Benar-benar lega. "Terus sekarang gimana?"

Gelengan kepala Adam membuat Ake kembali dilanda kebingungan. Dia terus saja mengecek ponsel yang tidak lepas dari genggaman. "Belum ada balesan dari Enzi. Pa ... aku ikut nyari ya?"

"Jangan!"

Adam segera mencegah Ake, meminta putra sulungnya untuk kembali duduk. "Dibilang jangan gegabah. Biarkan teman-teman kamu yang bertindak."

"Kenapa?"

"Kamu pikir Rian selama ini bertindak sendirian?"

Sontak Ake membulatkan mata. Sungguh, dia semakin tidak mengerti dengan semua ini. Semakin dijelaskan justru semakin membingungkan. Ake bersandar pasrah, dia ingin cepat menemukan Issam tapi semua terasa sulit.

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang