27. Kembali Pulang

1K 108 2
                                    

Tidak ada yang bisa Issam lakukan selain menangis sekarang, tenaganya sudah terkuras habis. Percuma jika dia berusaha melepaskan diri. Kini meski semua ikatan di tubuhnya terlepas, Rian memantaunya melalui CCTV. Sesekali Rian akan masuk ke kamar untuk berbincang dengannya, seolah tidak ada yang terjadi.

Issam menunduk di antara kakinya yang ditekuk, sesenggukan ketakutan. Berulang kali Issam menggumamkan 'Papa'. Berulang kali pula Issam berharap seseorang membantunya pergi. Pergi sejauh mungkin sampai Rian tidak akan menemukannya dimanapun itu.

"Anak ayah nangis?"

Issam berdecih, muak sekali mendengarnya. Dia merapatkan tubuh pada sisi kasur yang lain, mendengar derap langkah Rian yang semakin jelas. Remaja itu terus-menerus menghela napas, berusaha menenangkan diri. Setidaknya untuk kali ini dia tidak akan mendapatkan perlakuan keji karena melawan.

Rian menarik lengan Issam sedikit kasar sebab panggilannya tidak terbalas sama sekali. Dia terkekeh kecil melihat wajah Issam yang menurutnya menggemaskan. Mata memerah dengan jejak-jejak air mata terlihat jelas, tapi Rian seolah buta.

"Lucu sekali kamu," ujar Rian seraya mengacak rambut berantakan Issam. Dia seolah tidak melihat ekspresi jengah tapi juga takut yang Issam tunjukkan. Bagi Issam, semakin lama, Rian semakin menyeramkan.

"Kamu mau makan apa?"

Issam semakin merunduk, kedua tangannya saling bertaut. Dia seolah melupakan rasa lapar yang sejak tadi dia keluhkan, dia benar-benar takut jika Rian akan berbuat tidak-tidak. Dia tidak ingin terbangun dengan rasa pusing di kepalanya yang sampai sekarang sebenarnya masih terasa.

"Nak. Daru."

Tidak. Dia benci panggilan itu. Namanya Issam, bukan Daru. Harus berapa kali Issam mengatakannya? Sedikit demi sedikit Issam mendongak, menatap mata Rian dengan sayu. "Namaku Issam, bukan Daru. Aku bukan Daru."

Rian memejamkan mata, tangannya terkepal kuat. Dia berusaha untuk mengontrol emosinya agar tidak bertindak kejauhan, lagi. Sebab dia cukup sadar melihat ketakutan dalam sorot mata Issam. Dia ingin menjadikan Issam miliknya seutuhnya. Jadi sebisa mungkin Rian harus membuat Issam nyaman, lantas membawanya pergi dari jangkauan Adam.

Rian merapatkan tubuh dengan Issam, memeluknya dari samping. Sekali lagi dia berusaha untuk membuat Issam percaya dan nyaman bersamanya. "Kamu ini Daru. Sampai kapanpun, kamu anak saya. Daru. Bukan orang lain."

Tapi kita memang orang lain. Issam hanya berani mengatakannya dalam hati, diam-diam melihat pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. "Sakit, pusing, semuanya ...."

"Maafin ayah."

Keduanya sama-sama diam dalam waktu lama, fokus pada pikirannya masing-masing. Issam sama sekali tidak merasa nyaman berada di posisi sekarang, terlebih tangan kekar Rian yang sedikit menyakitinya. Entah Rian sadar atau tidak, padahal sudah berulang kali Issam meringis dan mencoba melepaskan diri.

Hening di antara keduanya terpecah kala mendengar suara klakson mobil saling bersahutan. Lucu sekali. Tidak mungkin ada kemacetan di daerah ini. Rian bergegas keluar, mengabaikan Issam yang diam-diam menghela napas lega. Sejujurnya Issam juga terkejut dan penasaran, tapi setidaknya dia tidak merasa terancam dalam dekapan Rian.

"ADEK!"

Issam tersentak, matanya mengerjap pelan kala melihat Ake baru saja membuka pintu dengan cukup kencang. Dia masih mencoba mengerti keadaan, apakah dia tengah halusinasi.

"Adek? Adek nggak pa-pa?"

Baru sekarang Issam sadar bahwa kehadiran Ake benar-benar nyata. Alih-alih tersenyum bahagia, Issam justru menangis. Memeluk tubuh Ake dengan kuat. Dia tidak peduli akan dicap cengeng atau sejenisnya. Sebab berhari-hari merasa was-was sungguh tidak mengenakkan.

"Udah, sekarang Abang di sini jemput adek. Ayo pulang, Mama nunggu."

Rasa-rasanya Ake juga ingin menangis sekarang, dia merasakan tarikan kuat di jaketnya seolah menunjukkan kekacauan. Tapi ini bukan saatnya menanyakan keadaan Issam, yang terpenting adalah segera membawa Issam pergi dari tempat ini.

"Kuat lari?"

Issam mengangguk, dituntut untuk meninggalkan kasur dan tangan kanannya digenggam kuat. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan ketika sudah bersama dengan Ake. Issam yakin, Ake akan melindunginya bagaimanapun caranya.

Keduanya sontak berlari keluar kamar, mencari jalan belakang. Sementara di depan, dapat terdengar keributan cukup kencang. Beruntung sebelum berangkat, Adam sudah membawa persiapan. Bagaimanapun juga dia tidak ingin membahayakan diri sendiri yang justru akan menambah masalah.

"Papa?" lirih Issam menghentikan langkah keduanya. Issam menatap Ake ragu.

"Tenang aja. Orang itu nggak akan berbuat kriminal. Dia sakit, tapi dia bukan penjahat."

Kalimat itu membuat Issam tersadar, kembali berlari menuju mobil yang telah dipersiapkan melalui jalur belakang. Entahlah bagaimana jalur ini terbentuk, tapi Seno menemukan jalannya dengan bekerjasama dengan pihak sekitar.

Sebelum memasuki mobil, Ake tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada orang kepercayaan Seno.

"Ngebut, Janu."

Di balik kemudi, Janu mengangguk. Setelan hitam dengan sebagian wajah tertutup masker membuat Issam tidak sadar bahwa di depannya adalah sahabatnya sendiri.

"JANU!!?"

"Ngobrolnya nanti aja," ujar Janu segera melajukan mobil dengan kencang. Dia sempat memelankan sebentar ketika melihat ayahnya dan Adam masih berada di luar garasi, mencoba bernegosiasi dengan Rian pelan-pelan. Mereka tidak akan melakukan kekerasan. Itu hanya akan memperkeruh keadaan.

Sementara di dalam mobil, Ake masih mendekap Issam nyaman. Mengecup puncak kepala adiknya berulang. Dia begitu merindukan dan mengkhawatirkan Issam. "Aman kan lo?"

"Aman," lirih Issam memperkuat pelukan. Emosinya berangsur-angsur stabil, meski masih terbayang jika saja tiba-tiba Rian kembali datang.

"Aman-aman apanya? Tuh tangan lo biru." Meski tidak terlalu jelas dari kaca, Janu melihat lebam di pergelangan tangan Issam. Dia merasa marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mampu menyerahkan semuanya kepada ayahnya dan Adam.

"Hah? Mana coba lihat!"

Ake terlihat terkejut dan meraih kedua tangan Issam. Matanya berkaca melihat warna kebiruan di pergelangan tangan adiknya. Dia mengusap lebam tersebut lembut, meniupnya berharap dapat mengurangi sakit yang Issam rasakan. Meski jika dipikirkan lagi, itu tidak ada gunanya.

"Maafin, Abang. Kita lama ya jemput kamu?"

Issam menarik tangannya kembali, menggeleng tidak setuju. "Gue yang salah dari awal. Seharusnya gue nggak ikut orang itu. Semuanya jadi runyam dan kalian jadi repot juga karena gue."

Kali ini giliran Ake yang menggeleng cepat, dia tidak ingin adiknya menyalahkan diri sendiri. "Enggak. Apaan sih? Lo jadi mellow begini, nggak cocok. Ini bukan salah lo."

"Drama mulu lo berdua," celetuk Janu menguping pembicaraan keduanya meski fokus pada jalanan yang sebenarnya dia tidak terlalu hapal. Ya, maklumi saja dia baru mendapatkan SIM beberapa bulan lalu dan tidak pernah berkendara keluar kota selain hari ini.

"Lagipula nih ya, gue yang berasa sopir tahu nggak? Kalian berdua di belakang, sebelah gue kosong begini."

"Lo kan emang babu gue."

"Anjing lo Sam!"

.
.
.

Mau bilang maaf karena weekend kemarin nggak update. Aku anak kos ges, jadi pas pulang banyakan molor. Hahahaha ...

15-08-2022
Ruang Sembunyi💚

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang