14. Belum Selesai

821 115 7
                                    

Seringkali Issam memikirkan untuk apa dia hadir ke dunia. Untuk apa dia hidup, untuk apa dia bernapas, untuk apa dia bersekolah, untuk apa dia berteman, dan banyak pertanyaan lainnya. Sayangnya, dari semua pertanyaan itu, tidak satu pun jawaban yang memuaskan. Atau bagian paling mengenaskan, beberapa hal tidak terjawab.

Namun hal yang paling dia benci ketika memikirkan semua itu, semua akan berakhir dengan mencerca diri sendiri. Memaki segala hal dalam dirinya. Untuk beberapa saat, Issam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak menghiraukan perdebatan antara Tama dan Ake, tidak pula memperdulikan ocehan Enzi mengenai kucing-kucing kesayangannya. Semua terlihat samar ketika pikirannya terfokus pada segala cacian dan makian diri.

"Kucing gang sebelah padahal ganteng, tapi dia ngeyel sama kucing item jelek kurus yang sering ke rumah. Pengen gue maki yang punya, tapi yang punya anak lurah."

Enzi dengan kacamata khasnya bercerita panjang, dia juga sesekali menunjukkan foto majikannya tersebut. Tapi dari segala arah cerita yang sudah kemana-mana, Enzi seperti berbicara dengan patung. Issam tidak membalas sama sekali, bahkan matanya terus menatap jalan raya yang terlihat dari lantai dua Cafe Miki Niki.

"Lo kayak bapak-bapak duda banyak utang, Sam."

Issam menegakkan tubuh dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke atas paha. Dia tersenyum tipis, menepuk pundak Enzi pelan. "Sorry, Bang."

Enzi menghela napas, memperbaiki kacamata bolongnya yang mendapat tawa dari Issam. Sebab remaja itu baru menyadari Enzi lebih sering memakai kacamata bolong atau kacamata tanpa kaca, entah untuk apa.

"Serem lo. Diem-diem tiba-tiba ketawa."

"Ngetawain nasib gue."

"Kenapa emang?"

"Nggak berguna banget gue hidup."

"Lo lihat ke sana." Enzi menunjuk tempat Tama dan Ake yang masih saja berdebat. "Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan dia pas denger lo ngomong gitu."

"Tama-tama itu? Lah kenapa?"

"Bukan Tama. Abang lo, bego!"

Meski sudah mengenal lama, Enzi masih saja belum bisa terbiasa dengan sikap menyebalkan Issam. Maka tanpa sepengetahuan sang teman, yang jelas saja jika ketahuan sudah pasti dia akan dimutilasi, Enzi menjitak kepala Issam.

Tentu saja Issam meringis, menatap Enzi tidak suka. Lantas dia menarik napas panjang. "ABAAAANG! BANG FIZI JITAK PALA GUE!"

Maka hanya dengan begitu tatapan tajam Enzi dapat dari Ake yang melangkah mendekat. Mereka seolah tidak melihat tamu lain yang mulai jengah dengan keributan mereka. Lain dengan para pelayan cafe, mereka sudah terbiasa dengan para langganan tersebut.

"Berani lo?"

Dalam bayangan Enzi, jari telunjuk Ake yang terarah padanya seolah berubah menjadi ujung pisau tajam yang siap menghunus matanya. Dia menelan ludah, menatap Tama yang berada di belakang Ake untuk meminta bantuan. Namun bukannya melerai, Tama justru mengompori Ake.

"Bangke banget gue punya temen," gumam Enzi pelan. Dia menatap Issam tajam yang terlihat kesakitan padahal dia tahu itu hanya akal-akalan belaka. Dia menjitak di jidat, bukan di kepala bagian belakang. Kenapa Issam justru memegang kepala bagian belakang?

"Ke. Kan gue jitaknya di jidat, bukan di belakang." Enzi mencoba menjelaskan sepelan mungkin, jujur saja nyalinya menciut sekarang.

"Ya kan otak dia kebalik."

Kali ini Ake mendapat cubitan kuat di pinggang sampai membuatnya memekik. Dia menatap adiknya tajam yang baru saja melakukan kekerasan. "Lo gue belain bukannya berterima kasih, malah menganiaya."

"Abang mau belain gue atau mau ngehina?"

Jujur saja Tama ingin tertawa melihat ekspresi kesal yang Issam tunjukkan. Dia bahkan nyaris tidak percaya dengan usia Issam meski postur badannya cukup tinggi. Ekspresi itu sangat menggemaskan. Pantas sekali Ake bucin akut.

"Kalau bisa dua kenapa harus satu?"

"ABANG! Nggak boleh ngatain saudara sendiri, gue laporin Papa."

Ake tertawa keras. "Lo kan lagi berantem sama Papa."

"Oh iya."

Issam bergumam sembari menunduk, sedangkan Ake menghentikan tawa dan berjongkok di samping Issam. Dia menjawil dagu adiknya. "Yek! Mau nangis lo? Cengeng banget jadi cowok."

"Gue nggak nangis!"

Semakin lama, suara Issam semakin menelan. Ake terkekeh. "Dih adik gue nangis nih?"

"ENGGAK BANGKE!"

Seseorang yang sejak tadi berada di dekat meja Issam tersenyum tipis. Sepertinya sudah cukup, dia merasa tenang ketika melihat Issam kembali ceria. Lantas dia beranjak pergi, dalam waktu sebentar, dia beradu tatap dengan salah satu di antara mereka berempat. Membuat langkahnya semakin cepat, setengah berlari dan meninggalkan tempat.

Tepat ketika keluar dari Cafe Miki Niki, orang tersebut membuka topinya. Dia mendongak, menatap ke arah lantai dua Cafe dimana dari tempatnya berada, dia mampu melihat mereka. Senyumnya semakin mengembang.

"Saya akan mengaku secepatnya."

***

Sudah hari ke tujuh. Ake pikir semua akan kembali membaik dan mereka menjalani hari seperti biasa. Penuh cerita dan banyak diselingi tawa. Tapi segala harap yang dia gantungkan Minggu lalu untuk keluarganya, semua berakhir sia-sia. Tidak ada yang baik-baik saja.

Issam sering melewatkan sarapan bersama, pun dengan Papa. Menyisakan dirinya dan Mama yang berakhir makan tanpa berbicara. Lalu menjalani rutinitas masing-masing, makan malam di kamar, dan segala aktivitas individu yang membuat Ake semakin tidak nyaman. Ingin rasanya dia meluruskan masalah dalam keluarganya, tapi percuma. Ego Papa dan Issam masih sama-sama tinggi. Sulit sekali untuk menyatukan mereka kembali.

"Bang! Ma! Berangkat dulu."

Kali ini Papa duduk di meja makan, melirik Issam yang mengenakan kaos kaki di ujung tangga. "Kerjain ujiannya yang bener. Jangan ngasal, langsung pulang, jangan main."

Anggap saja Issam kurang ajar, sebab dia langsung berangkat tanpa menghiraukan Papa. Hal itu membuat emosi Papa kembali memuncak, pegangannya pada sendok menguat. "Kapan sih anak kamu itu mikir dewasa?"

Mama terlihat tidak peduli, dia sibuk menambahkan menu ke atas piring Ake. Sepasang ibu dan anak itu sama-sama menghela napas. Tidak ada yang sanggup mencairkan suasana sebab yang biasa melakukannya Papa dan Issam. Keduanya sangat mirip, bahkan sekarang, tidak ada satu pun di antara mereka yang berniat memperbaiki hubungan.

"Udah seminggu, nggak capek marah-marahan? Itu kamu sama anak sendiri loh. Katanya anak kesayangan." Mama berbicara sedikit keras, menyadarkan Papa dari lamunannya. Sedangkan Papa bersikap seolah tidak mendengarkan.

"Abang mau ke rumah Tama, mau nginep di sana entar malem. Abang harap pas pulang, Papa sama adek udah baikan."

Si sulung meninggalkan tempat. Mama berdecak karena lagi-lagi suasana pagi tidak berakhir baik. "Lebih baik kamu ngomong sama Abang, omongin baik-baik soal semuanya. Biar Abang bantu buat baikan sama adek. Gengsinya diturunin kenapa sih? Udah tua jangan gitu ah sama anak sendiri. Sedih aku lihatnya."

"Maaf, Sayang."

"Udah tua nggak usah bergaya."

.
.
.
TBC

Kangen Kak Haechan.... kangen bangetttt. Duhhh

Ruang sembunyi💚
13-06-2022

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang