2. Helm Bogo Doraemon

2K 205 2
                                    

Cafe Miki Niki menjadi tempat favorit Ikhbar. Entah untuk mengerjakan tugas kampus atau sekedar berkumpul bersama teman-temannya. Dia selalu memilih tempat duduk di lantai dua yang berdinding kaca. Dari sini, dia bisa melihat lalu lalang kendaraan di bawah sana.

"Kusut banget muka lo."

Seseorang duduk di sebelahnya dengan membawa mug yang sudah dapat dipastikan berisi kopi pahit. Asapnya masih terlihat mengepul, sedang sosok dengan kacamata tanpa kaca itu tersenyum lebar ke arahnya. "Kenapa?"

"Abis dari mana lo?" Bukannya menjawab, Ake justru balik bertanya. Dia menatap sosok bernama Enzi itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rapi, seperti biasanya.

Enzi tertawa dan menggulung lengan kemeja, menunjukkan ukiran baru di bagian lengan atas yang dipenuhi dengan gambar ular. "Bikin lagi dong!"

"Tatto mulu," ujar Ake kembali menatap jalan. Dia menghela napas panjang. "Kayaknya di kehidupan sebelumnya, gue maling harta kerajaan deh. Jadi dapet karma sekarang."

"Hah?" Enzi membeo tidak mengerti.

"Adik gue. Nauzubillah kelakuannya, bangke banget emang."

Hanya dengan begitu saja, Enzi tertawa. Dia merangkul bahu Ake, menepuknya seolah memberi kekuatan. Meski wajah Ake terlihat pasrah dan lelah, Enzi tahu bagaimana dua saudara itu saling menyayangi. Di setiap pertemuan, Ake selalu menceritakan apapun tentang Issam. Entah sedang berulah ataupun tidak. Semua teman-teman Ake mengenal Issam tanpa berkenalan langsung.

"Kenapa lagi?"

Ake menghela napas, menceritakan bagaimana Issam menelfonnya sembari menangis. Dia merasa jantungnya merosot saat mendengar isakan Issam. Namun ketika tahu alasan dari tangisan tersebut, Ake langsung saja membanting ponsel. Beruntung tidak pecah, hanya lecet sedikit di pinggir.

"Gue nggak habis pikir. Jelas dong motornya nggak ada di sekolah, dia kan nggak bawa motor. Gue anterin gara-gara dia rewel minta dibeliin roti goreng di deket pasar."

Kalau suatu saat ada kesempatan, Enzi berharap dapat lebih mengenal Issam. Sepertinya jika dia menjadi kakak Issam, dia akan awet muda. Terutama saat mendengar cerita Ake yang menggambarkan tingkah Issam yang tiada habisnya.

"Terus gurunya gimana?"

"Antara ketawa sama kesel. Ya gimana gak kesel? Orang udah menggemparkan satu sekolah, mana udah nangis anaknya. Gue yang malu pas jemput, minta maaf di ruang guru."

"Gue kalau ada di sana kayaknya bakal ketawa."

Ake mencebik mendengar tawa Enzi yang seperti meledeknya. Dia menghela napas lagi, tapi kalau diingat-ingat, wajah Issam terlihat lucu saat menangis. Mata dan hidungnya yang memerah bahkan mengeluarkan ingus.

"Kan sekarang senyum-senyum. Kebiasaan." Enzi terdiam sejenak, sebelum ingin menyampaikan maksudnya menemui Ake saat ini. Hanya saja dia merasa takut kalau nanti Ake akan marah dan enggan berteman dengannya.

"Ke."

Tidak ada sahutan, Ake hanya menoleh sekilas. Enzi menghela napas panjang. "Ke. Kalau gue titip kucing gue ke elo gimana?"

Detik itu juga Enzi merasa wajahnya basah karena semburan dari Ake, dia memejamkan mata dan mengusap wajahnya pelan. Seharusnya dia melihat dulu kegiatan Ake sebelum menyampaikan maksudnya.

"Apa lo bilang? Titip? Ogah!"

"Ke, tolooong. Gue harus ke Semarang. Sebulan doang kok, nggak lebih. Ya? Ya? Ya?"

"Enggak."

"Ke."

"Nggak."

"Ke."

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang