"Makanya jangan hujan-hujanan, jadi sakit gini kan? Kamu itu nyari penyakit apa gimana sih? Udah--"
Omelan Mama terpotong melihat tingkah Issam yang membuatnya geram. "ADEEEK DIBILANGIN JANGAN MAIN HP!"
Issam meringis kala ponsel yang digenggam jatuh tepat mengenai hidungnya akibat teriakan Mama. Dia menoleh ke arah Mama dengan tatapan kesal, mengusap hidungnya yang masih terasa nyeri.
"Sakit, Mamaaaaa."
"Makanya dibilangin jangan main hp, dengerin nggak sih Mama ngomong?"
Mama masih saja mengomel, mencebik kala demam Issam belum juga turun. Matanya berkaca-kaca, sedih dan marah bercampur menjadi satu. Mama sendiri tidak tahu apa yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Kekacauan semalam membuatnya terus-menerus merasa takut, sampai kapanpun Mama tidak akan rela melepaskan Issam begitu saja.
"Maaa, aku cuman demam doang bukan lagi sekarat. Jangan lebay deh, Ma. Ekspresinya kayak bakal aku tinggal aja," ujar Issam memberenggut sebal. Sejujurnya dia tidak suka melihat Mama yang terlampau khawatir, tapi namanya Issam selalu saja tidak bisa menyampaikan perasaan dengan baik. Pun pada Mamanya sendiri.
Issam memekik saat tangan Mama menepuk pelan bibirnya dengan mata melotot. Melihat itu membuat Issam semakin merajuk, menaikkan selimutnya lebih tinggi dengan ekspresi seperti anak anjing meminta perhatian.
"Mama mah kekerasan sama anak sendiri."
"Kalau anaknya modelan kamu, kayaknya semua orang juga habis kesabarannya," ujar Mama sembari menyiapkan obat penurun demam dari apotek.
"Kan aku anak Mama, berarti Mama dulu juga gini."
Seperti tidak ada rasa takut, Issam terus saja menyahut meski dalam keadaan kepala pening. Dia tidak mau kalah, terlebih kalah debat. Sekalipun dengan Mamanya sendiri. Tidak bisa. "Berarti Mama dulu juga kayak aku kan?"
Issam kembali memekik kala keningnya menjadi sasaran sentilan. Kali ini bukan Mama, melainkan sang kakak tercinta, siapa lagi kalau bukan Tuan Ikhbar alias Ake. "Jangan ngelawan mulu, durhaka nanti."
"Heleh, kayak Abang baik aja."
"Mulutnya emang minta di--"
Baru saja Ake hendak menyentil Issam lagi, Mama sudah menahan tangannya. "Kamu ini, adiknya lagi sakit juga masih aja diajak ribut. Lagian kamu ngapain di kamar Adek? Mau jadi pengangguran kamu?"
"Kan Adek yang mulai duluan, Maaa. Kok Abang yang salah?"
Bukannya segera beranjak, Ake justru berbaring di sebelah Issam. Menarik selimut yang dipakai Issam agar dapat dipakai berdua. Sedikit tidak tahu diri memang, padahal sudah tahu adiknya sedang demam.
Mama menghela napas panjang. "Ini masih pagi, Abang. Adek kamu udah bikin Mama pusing, sekarang malah abangnya. Kalian berdua emang sama aja."
"KITA KAN SAUDARA!" seru Issam dan Ake bersamaan membuat keduanya saling bertatapan. Sebenarnya terlihat lucu sebab mereka berbagi selimut dan hanya menyisakan kepala saja.
"Adek minum obat dulu baru istirahat, Abang mandi dulu saja gih jangan pindah kasur ke sini. Udah gede juga masa harus diingetin terus sih kalian berdua? Ya Allah, kurang sabar apa Mama selama ini sama kalian?"
"Mama kan hobi marah-marah," ujar Issam setengah berbisik, Ake yang mendengarnya sebisa mungkin menahan tawa.
Ake mendekatkan kepalanya pada kepala Issam, melirik sang Mama yang terlihat sibuk sendiri sebelum berbisik lirih. "Kesabaran Mama setipis kulit bawang."
Memang jika sudah disatukan, keduanya seperti tidak terkalahkan. Ya, tentu saja Ake mencari aman untuk berada di pihak Issam agar tidak ditindas habis-habisan dan tidak dijatuhkan harga dirinya oleh adiknya sendiri.
***
Sudah dua hari Issam tidak masuk sekolah, dua hari pula Issam berada dalam ketenangan. Dia tidak menyukai sakit, tapi dengan tetap berada di rumah, dia bisa menghindari orang yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Orang yang mengganggu hari-harinya dan keluarganya.
"Jangan ngelamun, Dek."
"Papa?" Issam mendongak dengan mata mengerjap lucu. Di mata Adam, semakin bertambah usia, putra bungsunya semakin terlihat menggemaskan.
Keduanya duduk bersisian di teras rumah, melihat lalu lalang kendaraan dan anak-anak kecil yang baru saja pulang mengaji. Tawa mereka mengingatkan Issam pada masa kecilnya, ah, tiba-tiba saja Issam merindukan waktu itu. Merindukan segala bentuk kenakalan hanya untuk menghindari jam tidur siang. Merindukan bermain bola di lapangan dekat perumahan sampai sore, dan hal-hal menyenangkan lainnya.
"Makin dewasa makin capek ya Pa?"
Adam melirik Issam sekilas, mengembangkan senyumnya sembari menepuk-nepuk pundak Issam. "Iya. Yang kamu hadapi nanti juga bakal makin sulit. Kenapa? Lagi mikirin sesuatu?"
Sebenarnya Adam tahu apa yang Issam pikirkan. Oleh karena itu, Adam merapatkan diri, menarik Issam ke dalam pelukannya. Berulang kali dia mengecup puncak kepala Issam, mencium aroma khas yang terasa menenangkan.
"Jangan mikirin apa-apa ya, Dek? Biar Papa yang urus semuanya, Papa janji semua ini bakalan cepet selesai."
Issam menarik diri dari pelukan sang ayah, sorot matanya terlihat begitu kosong. "Aku bukan anak Papa ya?"
Adam tidak menjawab, dia justru terkekeh. "Menurut kamu? Kamu makin dewasa, gimana sekolah? Gimana temen-temen? Udah tahu mau ngapain nanti abis sekolah?"
"Mandi, main, gangguin Abang, terus tidur," balas Issam mendapat cubitan kecil dari Adam. Padahal baru saja suasana terbangun mellow, tapi yang namanya Issam pasti akan cepat untuk merubah suasana.
"Bukan itu, abis kamu lulus sekolah."
"Kuliah terus kerja YEYY! Dapet duit banyak."
"Papa nggak tahu virus nyebelin kamu ini nular dari siapa," ujar Adam menguap kasar rambut Issam. Gemas rasanya karena sejak tadi Issam tidak menyahutnya serius.
Tapi obrolan mereka terhenti begitu saja melihat seseorang berada di pagar. Orang itu ... lagi.
Rian dengan pakaian serba hitamnya mendekat, mengulurkan tangan agar Issam menyaliminya. "Halo ... Pak Adam."
"Mau apa lagi?"
"Saya mau Daru."
Adam segera menarik Issam untuk berada di belakang tubuhnya. Tidak ada siapapun di rumah kecuali mereka berdua, membuat Adam takut jika nanti dia akan terpancing emosi.
"Kamu tidak bisa menyembunyikan Daru dari saya."
"Dia Issam, anak saya."
"Dia darah daging saya," ujar Rian masih terlihat begitu tenang, pun dengan senyum dan matanya yang terarah pada Issam.
Sosok yang berada di balik punggung tegap Adam pun hanya menunduk, dia tidak berani untuk berbicara sebab semuanya masih terasa denial. Entah siapa yang sebenarnya orangtua kandungnya, Adam-Amara atau justru Rian?
"Pa ..."
Adam memejamkan mata, menarik napas dalam sebab rasanya kepalanya ingin meledak sekarang juga. Dia menggenggam jemari Issam kuat, berbisik pelan. "Kamu anak Papa, percaya ya sama Papa? Kamu masuk ke kamar sekarang, telfon Abang kamu buat cepet pulang."
"Issam, ikut saya. Mau kan, Nak? Saya ini ayah kamu, ayah kandung kamu. Keluarga ini bukan siapa-siapa. Ikut saya ya? Saya pastikan kamu akan bahagia, bagaimanapun caranya," ujar Rian menggenggam salah satu tangan Issam dan menariknya pelan. Membebaskan Issam agar tidak terus berada di belakang Adam.
Issam merasa seperti dihadapkan dengan dua pilihan, dia menatap tangannya yang digenggam oleh Rian. Rasanya hangat, perasaan yang tidak pernah dia temukan sebelumnya. Lantas Issam melepaskan genggaman Adam, menatap ayahnya lembut.
"Pa ... aku mau bicara sama Om Rian? Boleh ya?"
.
.
.
TBCMaaf banget update nya jadi lama, juga buat komen yang mungkin terlewat aku balas. Terima kasih semuanya. Jangan lupa sehat dan bahagia.
Oh iya, ada yang kangen Kak Haechan nggak? Cungkan tangan, kita sehati.
26-07-2022
Ruang Sembunyi💚
KAMU SEDANG MEMBACA
ISSAM (Lee haechan) ✔️
Teen FictionDi dalam hidupnya, Issam selalu menemukan kejutan-kejutan tidak terduga. Namun di antara kejutan itu, kenapa yang datang harus menyakitkan?