21. Yang Disembunyikan

720 98 11
                                    

Sejak semalam, ruang kamar itu redup. Seolah tidak ada kehidupan padahal seorang wanita berada di dalamnya, berbaring sembari memeluk bingkai foto. Dia tidak memperdulikan panggilan dari orang-orang di luar sana. Baginya, mereka sama sekali tidak mengerti perasaannya sekarang. Dia merasa hancur, takut sekali sampai-sampai untuk memejamkan mata saja enggan. Dia berharap, figur yang berada di dalam bingkai tersebut datang padanya. Memeluk dan membisikkan lelucon paling menghibur.

"Adek, pulang yuk! Pulang ke Mama, Nak. Mama sayang banget sama kamu."

Entah sudah berapa kali Amara mengatakan kalimat serupa, meminta putra bungsu kembali dalam jangkauannya. Bukan berada pada sosok lampau yang tiba-tiba saja datang tanpa pertanda. Seolah datangnya benar-benar membawa sebuah petaka.

"Harus berapa kali Mama bilang kalau Mama sayang sama kamu," lirih Amara semakin mengeratkan pelukan pada bingkai foto masa kecil Issam. Ya, mereka bukannya tidak memiliki foto-foto masa kecil Issam, melainkan mereka sengaja menyembunyikannya karena suatu hal.

"Mas ..."

Adam mengepalkan kedua tangannya melihat kondisi istri yang terlihat menyedihkan. Tidak, bukannya dia tidak merasa sedih sebab Issam tidak pulang padanya. Melainkan dia sudah tahu bahwa hari ini akan terjadi. Hari dimana keluarganya kembali diporak-porandakan. Sejak semalam pula, mertuanya menghubunginya. Menanyakan kenapa Amara tidak juga mengangkat panggilan dari mereka.

"Kalau kayak gini, aku harus bilang apa sama orangtua kamu, Amara?"

Setelah sekian lama, keduanya kembali berbicara layaknya sepasang kekasih. Tidak, bukannya mereka tidak akur. Tetapi mereka sama-sama disibukkan dengan pekerjaan dan anak-anak mereka. Mereka seolah tidak memiliki waktu untuk menghabiskan hari berdua saja.

Adam menggenggam tangan Amara, mengusapnya perlahan menyalurkan kekuatan. Baginya, melihat tangis Amara yang sudah mengering menciptakan luka bernanah dalam dadanya. Perih sekali, terlebih kini Issam sulit dihubungi. Dia tidak marah dengan Issam, sebab dia tahu bahwa semua ini tidak luput dari campur tangan Rian.

Salah satu tangan Adam memukul lantai, matanya memerah. Amarahnya serasa bergumul di kepala, merancang ide-ide gila yang bisa jadi justru membuatnya sama seperti Rian.

"Seandainya hari itu kita cepat-cepat bawa Issam pulang, Mas. Hari ini nggak akan terjadi."

Hari itu yang Amara maksud adalah hari dimana putra bungsunya menghilang di usia lima tahun. Saat itu mereka berempat tengah berlibur di salah satu villa di Bandung. Tujuannya tentu untuk menenangkan pikiran dan menyenangkan anak-anak. Tapi rupanya takdir baik tidak berpihak pada mereka. Sebuah petaka hadir di tengah-tengah kebahagian.

"Seandainya kita merhatiin anak-anak kita, Adek akan tetap sama kita sekarang."

"Amara," ucap Adam menyela kalimat Amara, dia mengusap pipi Amara lembut. Takut jika sentuhannya semakin membuat sang istri rapuh.

Adam, Amara, dan kedua putra mereka yang masih kecil memutuskan untuk menghabiskan libur akhir pekan di Bandung. Katanya, Ikhbar saat itu ingin merasakan vibe Bandung yang kata teman-temannya menyenangkan. Ikhbar kecil tentu saja merengek pada Adam agar segera membawanya ke sana.

Awalnya semua terasa menyenangkan, seharian mereka berkeliling sembari mendengarkan celotehan Issam yang tidak ada hentinya. Issam yang dengan cadel bertanya sampai ke akar-akarnya sampai membuat Amara dan Adam kewalahan. Beruntungnya Ikhbar menggunakan posisinya sebagai seorang kakak dengan baik. Ikhbar menjelaskan pada Issam dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak, terutama di usia Issam saat itu. 

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang