31. Dia Datang Lagi

828 101 23
                                    

"DARU!"

Tepat sebelum memasuki mobil, Issam dikejutkan dengan panggilan yang tak terasa asing. Sebisa mungkin dia mencoba abai, sebab dia tidak merasa terpanggil. Tapi ketika mendengar suara pukulan, Issam menoleh ke belakang.

"ABANG!"

Kali ini Issam lah yang berteriak, dia dibuat terkejut dengan Ake yang tiba-tiba memukul seseorang. Entah siapa, sebab hari sudah larut malam. Matanya memicing, berusaha untuk mengenali seseorang yang sudah terbaring di pelataran tempat mereka bermain sebelumnya. Ingin sekali Issam mendekat, tapi entah kenapa pikirannya mendadak rancu. Kacau, dia ingin mengelak bahwa dia mengenali orang tersebut.

"Abang ..." Suaranya terdengar semakin pelan. Meski hanya terlihat punggungnya, tapi Issam mampu merasakan amarah sang kakak. Remaja itu menggeleng pelan, dia tidak ingin kembali berhubungan dengan orang itu. Dia takut jika masalah semakin besar dan orang itu akan bertindak lebih jauh lagi.

Di samping itu, Ake menatap Rian tajam. Tidak peduli usia mereka yang terpaut jauh. Dia kesampingkan segala bentuk kesopanan jika berhadapan dengan seorang Rian. Sudah cukup lama dia menahan amarah karena tidak ingin bertindak gegabah. Tapi melihat bagaimana Rian berusaha mendekati adiknya kembali, Ake tidak bisa tinggal diam.

Tangan Ake sudah mengepal di samping tubuh, wajahnya memerah terlihat dari cahaya lampu juga bulan purnama. Matanya terlihat berkaca-kaca, sakit sekali kala mengingat hal yang dialami adiknya meski tidak dia ketahui sepenuhnya. Tatapannya semakin menajam seraya menarik kerah baju Rian yang sejak tadi hanya diam. Ketika tatapan keduanya bertemu, dapat Ake temukan kekosongan di sana.

"Saya tidak peduli apakah Anda orang tua atau bukan, tapi Anda telah menyakiti adik saya. Dan saya tidak akan pernah bisa mengampuni itu."

Satu pukulan kembali Rian dapatkan, tubuhnya meluruh, menunduk. Dia membiarkan Ake melampiaskan kemarahannya, tapi dia dapat melihat siluet Issam yang terduduk lemas di samping mobil. Seulas senyum terbit di bibirnya kala orang-orang berdatangan menahan tubuh Ake. Menghalangi pemuda itu untuk kembali memukulnya.

"Jangan kurang ajar sama orang tua!"

"Istighfar deh lo! Ngaco banget nyerang bapak-bapak!"

Selagi orang-orang menahan dan menceramahi Ake tanpa mengetahui kebenarannya, Rian melangkah perlahan mendekati Issam. Dia tertawa kecil, berjongkok di hadapan Issam yang mulai menyadari kehadirannya.

"Enggak ... enggak ... nggak mau ... nggak."

Kepala Issam menggeleng cepat, matanya bergerak liar tanpa bisa menemukan titik fokusnya. Cukup sulit untuk Rian menenangkannya sampai akhirnya dia meletakkan jari telunjuk ke bibir Issam.

"Husssst! Diam."

Suaranya terdengar sangat pelan, tapi bagi siapapun itu pasti terdengar menakutkan. Seperti sebuah penekanan dan ancaman yang dibuat tanpa bentakan. Pria tua itu melihat sekitar, mengamati situasi, sampai akhirnya entah kenapa dia melakukan hal yang tidak direncanakan.

Dia mengeluarkan tabung dari dalam saku, mengeluarkan dua tablet sekaligus. Dia menekan tengkuk Issam dan memaksa untuk memasukkan tablet tersebut ke dalam mulut Issam. Remaja itu tidak memiliki daya untuk memberontak. Inilah yang membuatnya semakin membenci diri sendiri, semakin lama, semakin tidak bisa mengontrol diri ataupun melawan.

Tidak sampai satu menit, tanpa mempedulikan keramaian di belakang sebab mereka terlalu fokus untuk menenangkan Ake. Menghalangi pandangan Ake ke arah mereka, Rian meminta beberapa orang suruhannya mendekat, membawa tubuh lemas Issam ke dalam mobil.

Setelah mobil melaju, Rian mengamati wajah Issam yang tertidur. Dia usap keringat yang membasahi sebagian wajah Issam. Perlahan, tetes air mata Rian mengalir. Tangannya bergetar kala mengusap wajah Issam. Lagi dan lagi, suatu hal lain dalam dirinya menjeratnya pada situasi serupa. Dia yang keji, dia yang jahat, dia yang gila, atau perumpamaan lainnya.

"Maaf ... maaf."

Rian membawa tubuh lemas Issam ke dalam pelukannya, memeluknya dalam waktu yang lama. Seolah-olah dia benar-benar merindukan sosok Issam dalam hidupnya, dan mungkin setelah ini, hal seperti ini tidak akan lagi terjadi.

"Orang-orang sudah menganggap saya jahat, padahal saya tidak sekeji itu. Saya akan menunjukkannya ... saya akan menunjukkan seberapa jahat saya. Sama seperi pandangan orang-orang."

Dua orang yang berada di depan hanya diam. Satu sibuk mengemudi, satu sibuk bermain ponsel. Mereka terlihat begitu santai seolah tidak sedang melakukan tindakan kejahatan apapun.

"Tuan, di depan ada perempatan. Masalahnya di sana banyak CCTV, kita berpindah arah kah? Saya yakin orang yang mengamuk tadi menghapal plat mobil ini."

Niat awalnya hanya ingin mengikuti keseharian Issam, tapi menjadi berubah pikiran karena ambisi seorang Rian.

"Lewat jalan kampung, nggak akan ada yang curiga."

Sedangkan di tempat lain, Ake melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia melihat dengan mata sendiri bagaimana Rian membawa Issam lagi. Satu-satunya cara untuk menghentikan laki-laki itu ... memenjarakannya.

Selama berkendara, Ake terus mengeluarkan umpatan, menggigit jemarinya cemas. Dia yakin Issam mengalami trauma. Tapi belum sempat dia menarik sang adik keluar dari jeratan tersebut, sekarang semua terulang kembali.

"Bego lo, Ke! Ngejaga adik sendiri nggak bisa!" makinya terhadap diri sendiri, lantas memukul kemudi. Beruntung, kewarasannya masih ada sehingga tidak berkendara ugal-ugalan dan berakhir merugikan orang lain.

"AAAAAAKHH BANGSAT!"

***

Seno, Adam, Ake, ditambah beberapa orang yang tidak dikenal sibuk dengan tugas masing-masing. Mereka akan segera mengajak aparat untuk menangkap semua rekan-rekan Rian terlebih dahulu. Dengan dia tidak memiliki siapa-siapa yang bisa membantunya, pasti akan lebih memudahkan mereka menangkap dalang utama.

"Gimana?"

"Dokter yang memalsukan data rumah sakit menyerahkan diri barusan, ini kesempatan buat kita. Polisi udah megang data pribadi siapa saja yang terlibat. Sebentar lagi ..." Seno menatap semua orang dengan tatapan meyakinkan, lantas menepuk bahu Adam berulang. "Sabar, kita bakal pastiin Issam baik-baik aja."

Setelah Ake datang beberapa saat lalu, mereka benar-benar bertindak lebih cepat. Mereka tidak lagi mempertimbangkan resiko apapun ke depannya. Sebab tidak hanya Ake yang merasa marah, tapi juga Adam, pun dengan Seno.

"Maafin Abang, Pa."

Adam menoleh. Saat ini mereka memang tengah menunggu informasi dari pihak kepolisian. Pria itu tersenyum teduh, mengusap rambut Ake yang terlihat lepek. Adam merentangkan tangan seraya menghadap Ake.

"Gapapa, sini! Peluk Papa, kita saling menguatkan ya? Jangan kasih tahu mama kamu dulu," ujarnya kala berhasil membawa sang putra sulung ke dalam rengkuhan. Dia kecup berulang puncak kepala Ake. "Jagoan-jagoan Papa sudah besar semua, tapi kalian tetap anak Papa. Jadi jangan berpikir buat menuntaskan masalah sendiri, kamu masih punya Papa. Anak sulung terhebat yang pernah ada."

Tidak ada percakapan lagi setelah itu, mereka sibuk dengan lamunan masing-masing. Mengharapkan kabar baik. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan mudah melanjutkan kegiatan jika tidak melibatkan kepolisian. Mereka mencoba berpikir logis dan realistis. Mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan Adam.

"Percaya kan?"

Ake mengangguk, keduanya kembali berpelukan untuk menyatukan.

.
.
.
TBC

Ini mata tinggal beberapa Watt. Asli. Sebentar lagi cerita ini selesai, kalian mau cerita fc Kak Haechan lagi, atau ganti?

Terus mau genre apa?

01-09-2022
Ruang Sembunyi 💚

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang