13. Amarah Adam

876 121 5
                                    

Dengan langkah tergesa Adam membuka pintu utama rumah. Bahunya meluruh melihat bagaimana Amara tengah mengobati luka-luka di wajah Issam. Langkahnya mendekat, untuk melihat lebih jelas lebam-lebam pada putra bungsunya. Kedua tangannya terkepal, rasanya dia seperti tidak dapat berpikir jernih sekarang. Apalagi melihat Issam yang masih saja santai sekalipun sesekali meringis dan mengomel karena menganggap Amara terlalu kasar.

"Papa kenapa lihatin adek kayak gitu?" tanya Issam sembari menurunkan tangan Amara yang masih mengobati lukanya. Dia menatap ayahnya begitu dalam, mencoba memahami arti dari mimik wajah yang belum pernah dia lihat sebelumnya itu.

"Adek. Kamu tahu kamu salah?"

Sang putra mengangguk pelan, masih mencoba membaca kemana arah pertanyaan Adam. "Adek tahu adek salah. Tapi adek kan nggak salah sepenuhnya."

"Siapa yang mulai mukul? Kamu atau Baim?"

Issam menunduk. "Adek."

Adam beranjak, meraup wajahnya pelan dengan wajah memerah. "Buat apa? Kamu nggak bisa ya nggak main-main? Apa sih yang kamu pikirin, Dek? Papa nggak ngerti."

"Baim ngehina adek, Pa. Iya, adek tahu adek nggak sepinter Abang, nggak nurut, sering ngebangkang. Tapi tetep aja adek marah kalau orang lain bilang adek nggak berguna sekalipun emang iya."

"Masih berani ngebales?"

"Maaf."

Rasa-rasanya Issam ingin menangis sekarang, hatinya tidak dalam situasi baik sejak pagi. Dan kini dia harus menghadapi kemarahan Adam sendiri. Amara sudah masuk ke dalam kamar, memberikan ruang untuk mereka berdua berbicara. Sedangkan kakaknya masih ada urusan di luar.

Petir yang menyambar di luar semakin memperburuk perasaan Issam. Dalam hati dia bertanya-tanya, kenapa dia membenci hujan dan beranggapan setiap hujan datang, selalu saja membawa petaka. Seperti sore ini, dia pikir semuanya tidak akan berjalan baik-baik saja untuk kehidupannya jika hujan turun.

"Kenapa diem?"

"Tadi disuruh diem."

"Kamu mulai kurang ajar ya, Dek."

Dalam hati Issam ingin berteriak, mengatakan pada ayahnya bahwa dia tidak bermaksud kurang ajar. Dia hanya bingung dengan banyak orangtua yang kalau marah, segala hal yang terjadi adalah kesalahan anak mereka. Ngomong salah, diem salah.

Tapi daripada memperpanjang masalah, lebih baik Issam membiarkan Adam melepaskan emosinya. Dia pikir semua akan mereda dalam waktu cepat.

"Kamu dapet apa setelah mukul dia? Bonyok juga kan? Sekali aja nggak bikin gara-gara, kamu nggak bisa ya?"

Issam mendongak, seumur-umur dia tidak pernah mendengar Adam menghakiminya. "Papa..."

"Nggak usah manggil Papa kalau kamu nggak bisa diatur. Bisanya bikin masalah mulu. Kamu bukan lagi anak-anak, Dek. Kamu udah remaja, harusnya kamu udah bisa ngebedain mana yang baik dan enggak buat dilakuin."

Bahkan hanya lewat lirikan yang terlihat samar, Issam dapat melihat urat-urat Papa menonjol. Papa benar-benar marah padanya. Atau semua perkataan barusan memang hal yang Papa pikirkan selama ini tentang dirinya.

"Papa nggak pernah ngerasa sesulit ini pas ngedidik kakak kamu. Baik Papa ataupun Mama nggak ada tuh dulu yang sebandel kamu. Kekanak-kanakan."

Maka hanya dengan begitu, Issam menatap Papa tajam setelah berdiri. Tanpa berpamitan dan mendengar kalimat yang lebih menyakitkan lagi ke depannya, Issam meninggalkan rumah. Dia membanting pintu agar orang rumah tahu kalau dia benar-benar kesal sekarang.

Sedangkan Adam terus memanggil nama Issam dengan lantang, tanpa menghiraukan Amara yang kini mengusap bahunya.

"Pa ... orang itu ngirim pesan lagi."

***

Tidak peduli dengan hujan yang dia benci, Issam tetap berjalan tanpa tujuan. Tidak peduli pula jika ada tetangga yang menganggapnya aneh sebab hujan-hujanan dengan masih mengenakan seragam. Toh, selama ini dia sudah dianggap aneh oleh semua orang.

Tatapannya beralih pada langit yang terlihat benar-benar gelap. Seolah-olah matahari tertutup rapat tanpa celah. Hanya dengan begini isakannya keluar. Bukan berarti karena dia laki-laki, dia tidak bisa sensitif.

"Papa ngeselin banget, ngomongnya kasar," lirihnya yang hanya bisa dia dengar sendiri dengan berpadu pada suara hujan.

Tiba-tiba saja langit gelap itu berubah menjadi benda berwarna hitam. Issam menoleh, seseorang berdiri di sebelahnya dengan payung yang melindungi mereka.

"Nggak usah, Bang. Percuma, gue udah terlanjur basah begini."

"HAH?"

Issam lupa jika derasnya hujan membuatnya harus berusaha lebih keras untuk berbicara. Maka hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya. "TERSERAH."

Tanpa memperdulikan penolakan Issam, Ake menarik tangan adiknya menuju mobilnya. Issam baru menyadari jika di dalam mobil ada dua teman kakaknya. Di antara keduanya hanya Enzi yang dia kenali.

"Orang ini siapa?" Suaranya terdengar serak, tapi tidak bisa menutupi ketengilannya. Bahkan dengan tidak sopan dia menunjuk orang yang tidak dia kenal.

"Issam!" tegur Ake sembari berdecak. Lantas dia melirik temannya. "Sorry, Tam. Adek gue emang kurang ajar."

"Sama aja kayak adek gue." Orang tersebut menjabat tangan Issam dengan paksa, sebab adik Ake tersebut masih saja menunjuknya. "Kenalin, Tama."

"Temen baru ya?"

"Udah lama, lo nya aja yang nggak tahu."

Issam melirik kakaknya tidak suka. Dia merasa terkhianati jika ada orang di sekitar Ake yang tidak dia kenal. "Abang kok nggak bilang punya temen lain selain Fizi."

"Enzi, Dek."

Enzi mencoba untuk tersenyum. Dia tidak terkejut dengan sifat Issam, tapi tetap saja dia belum terbiasa. Pantas saja Ake jarang sekali bersikap manis secara langsung kepada Issam. Anak itu pasti akan bersikap lebih kurang ajar lagi.

"Beda banget kalian." Tama bersuara, baru pertama kali bertemu, dia bisa merasakan perbedaan antara kedua kakak adik tersebut.

Issam yang memang awalnya sedang sensitif tersebut langsung menatap Tama tajam. "Kenapa emangnya? Apa urusan lo?"

"HEH ISSAM!"

Sembari menyetir, tangan kiri Ake digunakan untuk menjitak kepala Issam. Dia tahu Issam baru saja dimarahi Papa sebab tadi Mama menghubunginya. Sebenarnya dia sendiri juga tidak menyangka akan bertemu Issam di jalan hujan-hujanan. Sudah seperti anak gadis galau saja.

Niat awalnya mengajak Tama dan Enzi bermain game bersama di rumah, tapi sepertinya situasi sedang tidak mendukung. Melihat wajah lebam sang adik membuatnya meringis.

"Sakit nggak tuh?"

"Enggak. Gue kan cowok."

"Ya nggak ada yang bilang lo cewek," ujar Tama yang masih tidak kapok mencari perkara dengan Issam. Tapi kali ini Issam tidak menanggapi, dia terlalu lelah untuk bertengar. Maka dia memejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran.

"Tadi Mama bilang belum selesai ngobatinnya, lo malah hujan-hujanan. Entar di apart Enzi, diobatin lagi. Udah jelek makin jelek. Ancur banget tuh muka." Ake berujar kesal, dia paling tidak suka jika melihat wajah babak belur adiknya.

"Abang tuh jelek," sahut Issam yang masih memejamkan mata.

Sedangkan di belakang sana, mobil hitam dan putih silih berganti mengikuti mobil mereka. Salah satunya berisi seseorang yang terlihat begitu khawatir.

"Mau kemana mereka?"

.
.
.
TBC

Untuk Tama cuman sebagai figuran doang ya ...
Terserah mau mengvisualisasikan siapa.

Bai Bai semuanya ...

Ruang sembunyi💚
0

9-06-2022

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang