22. Mulai Terungkap

741 93 16
                                    

"Ini kita kemana?"

Setelah satu jam berada di perjalanan, Issam baru menyadari sesuatu. Bahwa dia berada di tempat asing, jalan yang mereka lewati saat ini tidak pernah dia ketahui sama sekali. Dia menoleh ke arah Rian yang masih terlihat fokus pada jalanan. Sorot mata tajam yang ditunjukkan membuat nyali Issam kembali menciut. Entah kenapa baginya, Rian terlihat begitu menakutkan di beberapa kesempatan, seperti sekarang.

Issam mengulang pertanyaan serupa, tapi tidak juga mendapatkan jawaban. Semakin lama, laju kendaraan semakin kencang.

"Kita kemana, Om? Katanya ke Mekdi?"

Mendadak mobil berhenti membuat kepala Issam nyaris terantuk dashboard mobil. Remaja itu merasa terkejut, mengerjapkan mata shock. Beruntung mereka berada di jalan yang tidak ramai, atau kalau tidak malah akan berujung petaka.

Issam meringis kala tangan Rian bertumpu di pahanya, kembali merematnya kuat seperti sebelumnya. Issam meringis, menggeliat tak nyaman. Seharusnya dia berusaha memberontak, tapi entah kenapa dia hanya mampu terdiam.

Dalam pejaman matanya, Issam seolah melihat bayang-bayang suatu peristiwa. Lagi. Ada rasa takut yang semakin menguasai dirinya. Ada perasaan tak nyaman yang membuatnya ingin lari sekarang juga. Ringisan Issam semakin terdengar sebab Rian tak juga menghentikan aksinya.

"Om? Berapa kali saya katakan bahwa saya ini ayah kamu, Daru. Panggil saya ayah! Kamu mau melawan?"

Issam menggeleng lirih, kali ini tangannya bergerak perlahan menyingkirkan tangan Rian. Rasa takut bercampur gelisah kembali membuatnya ingin lari. Lantas satu pertanyaan keluar dari bibirnya, lirih. Tapi Rian mampu mendengar.

"Aku benar anak Om Rian?"

Detik itu pula Rian menancap gas dan mengendarai mobil sangat kencang. Sorot mata yang tajam dengan wajah memerah terlihat begitu kentara. Napasnya memburu, berkali-kali mengeluarkan umpatan.

Sedangkan di sebelahnya, Issam terlihat menahan napas. Dia takut, rasa-rasanya juga ingin mengumpat tapi tidak memiliki keberanian sama sekali.

"Papa ..."

Mobil Rian berhenti tepat di depan rumah yang berada cukup jauh dari perkiraan Issam. Entahlah, Issam sendiri tidak bisa menebak lokasi mereka berada. Dia sibuk mengontrol emosinya agar tetap stabil. Dia hanya melihat kebun yang begitu luas, rumah-rumah lain pun berjarak cukup jauh.

"Turun."

Issam menghela napas panjang. Perutnya seperti diaduk-aduk sebab mobil melaju terlalu kencang. Dia lantas segera keluar dari mobil, mengamati lingkungan sekitar. Mencoba mengenali wilayah yang sepertinya belum pernah dia kunjungi atau dia lewati sama sekali. Oke, mari salahkan jiwa magernya yang membuat Issam jarang bepergian jauh.

"Ini rumah kita yang sebenarnya, Daru."

Rian tersenyum tipis, mengusap kepala Issam seolah melupakan apa yang telah dia lakukan di dalam mobil. Sedangkan Issam masih sibuk memperhatikan rumah di hadapannya. Tidak jauh berbeda dengan rumah Rian yang pertama. Hanya berlantai satu tapi terlihat begitu luas dan asri. Bedanya, Issam merasa tempat ini seperti menyimpan banyak rahasia.

Remaja itu menoleh, menatap Rian yang terlihat sibuk dengan ponselnya. "Kita dimana?"

"Bandung."

"HAH?"

"Jangan berteriak, Daru. Saya nggak suka," ujar Rian menarik Issam untuk masuk ke dalam rumah.

Lagi dan lagi perasaan takut itu datang, padahal sebelumnya sudah cukup mereda. Rumah ini terlalu gelap untuk dikatakan sebagai rumah berpenghuni, meskipun barang-barang di dalamnya tertata bersih dan rapi.

"Ini bukan pertama kali kamu ke sini," ujar Rian membuat Issam menoleh terkejut. Dia memang merasa tak asing dengan tempat ini, tapi bukan berarti dia berpikir bahwa dia pernah mengunjunginya. Tidak, yang dia yakini dia tidak pernah datang ataupun sekedar melewati lingkungan ini.

"Kamu kan anak saya, memang seharusnya dari dulu kamu bersama saya. Tapi orang-orang itu membuat saya kehilangan kamu." Rian membawa Issam ke kursi ruang tamu, keduanya duduk berhadapan. "Maka dari itu saya membawa kamu kembali ke sini, di sini tempat kamu, Daru. Tempat kamu seharusnya."

Rian tersenyum tipis, membiarkan Issam dalam keterkejutannya. Sedangkan dirinya berlalu menuju ruangan di sebelah dapur. Ruangan yang menyimpan banyak sekali rahasia dan juga foto. Foto candid Issam yang dia dapatkan dari berbagai jenis kamera. Bertahun-tahun dia melakukan ini, tidak pernah sekalipun dia merasa bosan.

Pria itu mengambil salah satu foto yang menunjukkan foto Issam kala masih kecil, foto berpakaian biru dan lebam-lebam biru pula. Ah, sepertinya akan menyenangkan jika dia melakukannya kembali.

Rian tertawa kencang, mengeluarkan lembar-lembar foto yang diambil semalam kala Issam tertidur. Sebenarnya semalam Issam merengek untuk pulang ke rumah Adam, tapi Rian mencegahnya dengan memasukkan obat tidur secara paksa.

"Daru ... anak ayah."

***

"Jadi maksud lo Issam dibawa sama orang asing itu?"

Enzi bertanya seraya menyerahkan minuman berasa. Dia cukup terkejut ketika tiba-tiba Ake datang ke apartemennya hanya untuk meminta ditemani menjemput Issam. Tapi lebih terkejut lagi ketika mendengar cerita lengkap Ake mengenai situasi keluarga mereka akhir-akhir ini.

"Terus sekarang kita harus nyari kemana, Ke?"

"Gue nggak tahu," lirih Ake menunduk pasrah. Dia merasa seperti sudah tidak ada harapan lagi untuk membawa Issam kembali pada keluarganya.

"Bukannya, Senin Adek lo udah ujian kenaikan ya?"

Ake mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak terlalu memperhatikan pendidikan Issam. Pemuda itu menghela napas lelah, menyandarkan punggung pada sisi mobil yang terparkir. "Gue kemarin sempet terkecoh, Zi. Gue sempet berpikir Issam emang bukan Adek gue."

Enzi speechless, dia benar-benar dibuat terkejut sekaligus bingung dengan keluarga Ake. Ake saja yang merupakan bagian dari keluarga tersebut sempat ragu, apalagi dirinya?

"Nggak mungkin. Gue yakin Issam emang Adek lo. Terlalu sulit untuk dipercaya kalau Issam bukan adek lo. Aneh."

"Tapi bokap gue juga nggak ngejelasin apa-apa."

"Emang lo berharap apa? Berharap kalau orangtua lo bilang, Issam bukan anak mereka?" tanya Enzi menatap Ake penuh intimidasi. Keraguan dalam diri Ake benar-benar membuatnya geram.

Ake diam, dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan percakapannya dengan Issam yang berakhir kemarin pagi. Kembali menghela napas kasar, Ake justru mendapat pesan dari Adam untuk memintanya pulang.

"Balik aja dulu, cari solusinya bareng-bareng. Perjuangin Issam, lo sayang kan sama dia?"

Ake terkekeh. Bohong kalau dia mengatakan tidak menyayangi Issam. Mau senakal dan semenyebalkan apapun seorang Issam, orang itu tetap menjadi prioritasnya.

"Selagi lo ngobrol sama orangtua lo, gue bakal nyari Issam. Tunggu aja kabar dari gue, jangan bertindak gegabah."

"Zi ..."

"Gue kenal Issam itu lama, jadi lo nggak perlu sungkan sama gue," ujar Enzi seakan tahu apa yang ada di pikiran Ake. Dia menarik tangan Ake agar segera berdiri, detik itu juga dia melihat kedatangan Janu bersama yang lain. "Mereka bakal bantuin gue."

.
.
.

Nih cerita makin kesini kok makin kesana. Enaknya bikin cerita idol life siapa ya? Kak Haechan lagi kah??

07-08-2022
Ruang Sembunyi💚

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang