17. Jatuh Hati

798 109 4
                                    

Sejauh ini, Syamra belum bisa mengerti perasaan dalam dirinya. Dia tidak tahu cara membedakan cinta dengan sekedar kagum. Tapi malam ini, melihat Issam berjongkok sembara mengangkat tangan. Menampung tetes air hujan dari atap halte bus membuatnya paham, bahwa dia sebenarnya sudah jatuh. Jatuh terlalu dalam.

Syamra begitu menyukai segala hal dalam diri Issam, padahal sebelumnya bertemu dengan cowok itu saja rasanya enggan. Dia ingin selalu ada di dekat Issam, menatap wajahnya, bertukar cerita, dan menghabiskan waktu luang bersama. Ya, akhirnya malam ini dia mengakui bahwa dia mencintai Issam. Dia meyakini bahwa perasaannya merupakan perasaan paling tulus yang pernah ada. Sebab di sepanjang malam, hal yang selalu diharapkan adalah kebahagian Issam.

"Menurut lo, kenapa malam ini harus hujan?"

Gadis itu mengerjap kala suara nyaring Issam terdengar di antara derasnya hujan. Berpadu sempurna, padahal dia tahu bagaimana Issam membenci hujan. Syamra yang sebelumnya berada di sisi halte paling ujung melangkah mendekat, turut berjongkok di samping Issam sembari menatap jalan raya.

"Ya emang udah seharusnya hujan."

"Salah."

"Terus apa dong?" tanya Syamra memiringkan kepala menatap Issam. Sungguh, melihat pahatan wajah Issam dari samping membuat jantungnya berdebar. Dia seperti merasa de Javu.

"Biar gue tahu cara nggak takut sama hujan," ujar Issam lantas berdiri, mengulurkan tangan untuk membawa Syamra duduk di kursi halte. Angin kencang malam ini membuatnya kedinginan, dia yakin, sebentar lagi dia pasti diserang flu.

Keduanya duduk bersisian dengan Issam yang masih menggenggam tangan Syamra, mengarahkan tangan kecil itu ke dadanya. Menunjukkan seberapa cepat detak jantung Issam melaju saat ini.

"Gue masih hidup kan? Gila ... keren juga gue bisa nggak takut hujan."

"Apa sih?"

Syamra menarik tangannya kembali, mengalihkan atensi pada pada bangunan di seberang jalan. Bisingnya hujan dan lalu lalang kendaraan seolah berpadu dengan detak jantungnya sendiri. Issam tidak tahu saja jika detak jantungnya juga berirama cepat. Bukan karena takut hujan, tapi karena afeksi Issam.

"Gue paling nggak suka kalau hujan."

"Ya nggak usah hidup," sahut Syamra kesal. Dia benar-benar kesal karena tidak bisa bersikap normal ketika berada di sekitar Issam. Dia tidak ingin perasaannya berujung tidak terbalas dan berakhir sakit hati. Sungguh, dia merasa terlalu dini untuk galau karena cinta.

"Orang tuh ya harusnya kasih kata-kata manis gitu, lo malah sarkas."

"Ya kalau gitu nggak usah ngajak gue, ajak aja Serly. Romantis tuh anaknya."

Ngomong-ngomong soal Serly. Beberapa hari yang lalu Syamra pernah memergoki Issam berbincang dengan Serly, entah perihal apa. Dia tidak peduli, tapi untuk sekedar mengingatnya saja, rasanya sungguh membuat hatinya panas.

"Kenapa jadi Serly?"

"Ya nggak tahu."

Gelagat aneh Syamra membuat Issam menatapnya heran, sebelum dia berjengit kaget akibat suara petir. Dia merapatkan diri pada Syamra, perlahan meraih tangan Syamra untuk digenggam. Awalnya Syamra terkejut dan hendak protes, tapi melihat raut ketakutan Issam membuatnya urung.

Syamra semakin merapatkan tubuh mereka, menggenggam tangan Issam lebih kuat dan mengusapnya. Memberi ketenangan, dia biarkan kepala Issam bersandar di bahunya. Meski kembali dibuat salah tingkah, Syamra tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Tangan Issam sedikit bergetar, hal ini membuat Syamra khawatir.

"Gapapa, Sam. Jangan takut, gue di sini sama lo," bisik Syamra lirih.

***

"Dia anak saya."

Suara petir yang menyambar-nyambar di luar tak gentar membawa api menyala-nyala di dalam rumah. Bukan api sesungguhnya, melainkan kobaran emosi dalam diri masing-masing mereka.

Malam dimana mereka menunggu putra bungsu justru menghadirkan seseorang yang tidak diharapkan. Seseorang yang sebenarnya menghantui mereka selama beberapa tahun terakhir. Amara yang sejak awal sudah dikuasai amarah menampar keras wajah sosok tersebut. Ditambah dengan berbagai makian dan tatapan tajam.

"Dia yang kamu maksud itu anak saya, bukan anak kamu."

Sosok tersebut ... laki-laki seusia Adam menyeringai, mengusap bekas tamparan Amara yang sebenarnya cukup terasa nyeri. Dia membalas tatapan perempuan di hadapannya tak kalah tajam, sebelum seseorang berdiri di hadapannya, menghalangi Amara dari pandangannya.

Dua laki-laki berumur itu menghidupkan aura mencekam di ruang tamu. Adam melangkah maju, mengangkat kerah baju lawannya. "Berhenti berbicara dan keluar dari rumah saya, Tuan Rian!"

Setelahnya Adam mendorong kencang tubuh sosok yang diketahui bernama Rian tersebut, menunjuk pintu rumah yang terbuka lebar. Dia tidak ingin kalut dan kelepasan di hadapan istri dan putra sulungnya, terlebih Ake tidak mengetahui apa-apa. Pemuda itu memilih untuk menarik Amara ke dalam pelukannya.

"Saya tahu dia lebih banyak dari yang kamu tahu. Kamu bukan siapa-siapa."

Rian kembali berdiri setelah sempat terjatuh akibat dorongan Adam. Laki-laki itu melangkah mendekati Adam, berbisik lirih yang berhasil membuat mata Adam membulat sempurna, terkejut. Sedangkan Rian langsung melangkah mundur, menatap satu per satu orang di sana. Dia dapat melihat sorot mata bingung dari satu-satunya pemuda yang dia ketahui berstatus sebagai kakak Issam.

"Issam ... ah bukan, harusnya namanya Daru. Dia anak tunggal saya. Sudah cukup bertahun-tahun kalian membawanya. Sudah saatnya dia kembali pada saya," ujar Rian dengan suara tertahan. Dia tidak ingin kelepasan dan justru menciptakan kegaduhan yang akan merugikannya. Lebih tepatnya dia tidak ingin menciptakan kesan buruk pada Issam yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu.

Remaja itu terlihat basah kuyup. Dengan air hujan yang terus-menerus menetes, tatapan matanya berubah kosong. Dia sudah tidak memperdulikan ketakutannya pada hujan yang sempat membuatnya menangis tadi. Baris kalimat yang baru saja didengar jauh lebih parah meruntuhkannya.

Badannya yang gemetar karena kedinginan melangkah mendekati mereka, membuat kedua orangtuanya dan sang kakak terkejut. Ake yang mengetahui situasi sedang panas bergegas merangkul Issam, berniat mengajaknya ke kamar dan mengeringkan diri. Tetepi Issam menolak, dia lebih memilih menatap sosok asing di depannya dengan pandangan nanar.

"Maksudnya apa?"

"Adek, kamu masuk aja ke kamar sama Abang ya? Nanti kamu sakit," ujar Adam mengode putra sulungnya.

"Enggak, Pa. Aku masih nggak ngerti maksud orang ini apa. Kenapa Mama nangis?"

Benar. Melihat Issam yang sudah jelas mendengar kalimat terakhir Rian, Amara langsung lemas. Dia duduk di sofa dan menangis, dia tidak menduga keadaan akan menjadi lebih rumit seperti sekarang.

"ISSAM! MASUK KAMAR!"

"Enggak." Tidak peduli dengan bentakan Adam ataupun rangkulan Ake, Issam memilih diam di tempat. Mengamati dengan seksama sosok di depannya yang asing tapi familiar. Issam seperti telah beberapa kali melihatnya. Pandangan Issam jatuh pada sepatu yang Rian gunakan, detik itu pula tatapannya berubah tajam.

"Jadi Anda yang menjadi penguntit saya selama ini?"

Tentu saja hal tersebut membuat Adam, Ake, dan Amara terkejut.

.
.
.
TBC

Sebenarnya aku pribadi nggak tahu cerita ini mau ngarah ke mana. Tapi satu hal yang pasti bahwa aku kangen Haechan. Dah valid.

Ruang sembunyi 💚
1

5-07-2022

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang