Issam terbangun dengan kondisi berantakan. Dia berbaring dengan tangan di borgol, sedangkan kakinya diikat tali. Saat ini, Issam merasa de Javu. Dia tidak bjsa memproses semuanya secara cepat, sampai akhirnya dia menyadari tengah berada di lingkungan Rian.
Dia melihat ke depan, menemukan satu kamera yang ditebak untuk mengawasinya. Issam yakin, sebentar lagi Rian pasti akan datang. Remaja itu meringis, mengabaikan rasa sakit di pergelangan tangan maupun kaki saat bergesekan dengan benda yang mengikatnya.
"Tolong ... jangan lagi."
Jantung Issam berdetak cepat, dia tidak bisa melawan ketakutannya sendiri. Maka ketika pintu terbuka menampilkan sosok Rian lagi, Issam hanya diam. Dia memperhatikan bagaimana langkah Rian mendekat dengan ketukan sepatu konstan.
"Hai Daru."
Issam menggeleng, mencoba menghindari sentuhan Rian di wajahnya. Tatapan keduanya bertemu, sama-sama sarat akan luka. Issam memejamkan mata, merapalkan banyak kalimat penenang untuk dirinya sendiri. Dia harus melawan, bagaimanapun caranya, dia harus melepaskan diri tanpa perlu menunggu bantuan orang lain. Sudah cukup, sudah seharusnya dia melawan rasa takutnya.
"Issam, putra kandung Papa Adam."
Detik itu pula, Issam menemukan sorot amarah dalam mata Rian. Tapi setelahnya tatapan Rian berubah sendu, laki-laki itu terduduk di tepi ranjang. Kedua tangan Rian terkepal.
"Kenapa sulit sekali buat kamu menerima saya? Kamu Daru, bukan Issam. Kamu seharusnya percaya dengan saya, ayah kamu."
Issam menggeleng, menampik pernyataan Rian. "Gila. Saya anak Papa Adam dan Mama Amara, adik dari Bang Ikhbar. Kurang jelas?"
Suara Issam terdengar bergetar, kentara sekali ketakutannya. Tapi dia juga tidak ingin jika terus mengulang situasi yang sama. "Saya tidak mengenal Daru. Tolong ... lepaskan saya."
"Kamu tidak ingin hidup dengan saya?"
Issam lantas menggeleng ragu, menyadari sorot mata Rian kembali berubah tajam. Dia tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Rian saat memutuskan segera keluar dari kamar. Tapi sebisa mungkin, mengabaikan kamera pengawas di depannya, Issam mencoba melepaskan diri. Dia memberontak. Bulir-bulir keringat membasahi tubuhnya kala sudah hampir satu jam dia berusaha tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
"Papa ..."
Issam menoleh ketika pintu kembali terbuka, Rian masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia duduk di tepi kasur, persis sebelah Issam, memperhatikan lamat wajah remaja itu. "Kamu harus bersama saya."
"Enggak! Nggak mau!"
"Jangan berontak!" Rian menahan tangan Issam yang terus saja bergerak. "Kamu akan tahu akibatnya kalau berani lari dari tempat ini."
Setelahnya, Rian kembali meninggalkannya. Issam tidak mengerti, toh seberapa kuat dia berusaha melepaskan diri, semua akan berakhir sia-sia. Remaja itu tersenyum getir, semangatnya untuk kabur terkubur dalam. Dia tidak sekuat itu untuk bisa melepas borgol di tangannya.
"Anjing!" Maka dari itu, Issam hanya bisa melempar kata-kata kasar. "Gue ujian, bangsat!"
Issam memperhatikan sekitar, dinding-dinding kamar ini dipenuhi foto-fotonya. Dari dia kecil sampai sekarang, bahkan foto kemarin ada di sana. Issam mengernyit, kepalanya terasa pening juga perutnya terasa lapar. Sudah semalaman berada di sini, tanpa diberi minum ataupun makanan.
Perlahan, Issam kembali menitihkan air mata. Terisak pelan, merasa muak dengan segala hal yang telah terjadi di hidupnya. Semua seolah menikamnya secara perlahan, membunuh jiwanya dan menjadikannya seorang penakut. Issam membenci ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISSAM (Lee haechan) ✔️
Teen FictionDi dalam hidupnya, Issam selalu menemukan kejutan-kejutan tidak terduga. Namun di antara kejutan itu, kenapa yang datang harus menyakitkan?