29. Hari Pertama Ujian

843 102 1
                                    

Untuk beberapa hal, Rian masih belum sanggup untuk menerima. Hati dan pikirannya berjalan ke arah berbeda. Meski sudah berkali-kali menampar diri, Rian tidak bisa mengendalikannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah memiliki Issam, bagaimanapun caranya. Benar ataupun salah seolah berubah menjadi abu-abu, sama rata. Singkatnya, Rian menghalalkan semua cara untuk mendapatkan Issam. Menjadikan Issam sebagai Daru.

Namun malam ini dia kembali disadarkan bahwa semua yang dia lakukan tidak akan berjalan baik, semulus apapun caranya. Buktinya, dengan mengeluarkan banyak dana untuk menyogok beberapa pihak, membayar banyak oknum. Masih saja Issam tidak dapat utuh bersamanya. Issam kembali pada Adam.

Sudah puas merenung seharian, Rian memilih berbaring dengan posisi miring. Memeluk bingkai foto Issam yang dia ambil beberapa tahun lalu, membayangkan seolah-olah yang ada dalam pelukannya benar-benar nyata. Tatapannya kosong dan sayu, rambutnya berantakan, dan di lantai terdapat banyak pecahan vas bekas amukannya sendiri.

"Daru ..."

Tatapannya yang sejak tadi tertuju pada tirai hitam seolah menangkap bayangan sesosok kecil tersenyum, melambaikan tangan ke arahnya dengan tali balon dalam genggaman. Dia mengingatnya, hari saat pertama kali memberanikan diri untuk bertemu langsung dengan Issam. Mengklaim Issam dan memberlakukannya semena-mena.

"Maafin ayah ..."

"Ini ayah, Nak. Harusnya kamu tetap di sini, jangan kemana-mana," lirih Rian dan dalam sekali pejaman, bayangan tersebut hilang. Tanpa dia sadari, sejak tadi air matanya tidak berhenti menetes. Bahkan matanya sudah terlihat memerah.

"Ayah mau kamu, ayah bakal turutin semua kemauan kamu asal kamu terus bersama ayah. Tapi kenapa kamu selalu lari, Nak?"

Masih dengan arah pandang yang sama, Rian seolah melihat rekaman ingatan lain. Saat dia berkali-kali menyuntikkan obat bius pada tubuh Issam, merantainya, mengurungnya dalam kamar ketika Rian tidak dapat mengendalikan obsesi dan emosinya. Ini salahnya, tapi bisakah sekali saja dalam hidupnya, Rian tidak sendirian? Dia ingin seseorang menemaninya setiap hari, dan yang diharapkan hanyalah Issam. Bocah yang dia anggap sebagai putranya, Daru.

"Maafin ayah."

Saat melakukan kekerasan tersebut, Rian dibuat gelap mata. Dan ketika telah tersadar kembali, Rian dibuat menyesal berkepanjangan. "Maafin ayah ..."

"Maafin saya, Issam."

Tangis Rian semakin terdengar, isakan-isakannya menggema ke seluruh penjuru kamar. Kehancuran dirinya menciptakan kehancuran lain. Dan itu terjadi pada seseorang yang seharusnya dia jaga mati-matian.

Pelukan pada bingkai foto tersebut semakin erat, semakin kuat seiring rasa sakit dan sesal bermunculan. Dia tidak ingin hidup seperti ini, tapi dia menginginkan Issam.

***

"Gue udah ketar-ketir lo nggak berangkat, Sam."

Baru saja memasuki ruang ujian, Issam disambut Rajendra yang duduk manis di kursi miliknya. Padahal ruang ujian Rajendra berada di ruang sebelah.

"Minggir!" Issam mendorong tubuh Rajendra dengan mudah. Tentu saja, Issam mendorongnya dengan sekuat tenaga. "Pergi lo, belajar sana! Jangan ganggu gue!"

"Apaan! Gue udah nunggu lo lama ya, Sampurna!"

"Heh! Enak aja main ganti-ganti nama anak orang," sahut Issam tidak terima. Sebenarnya Issam tidak memiliki tenaga untuk menanggapi Rajendra, tapi dia sangat menghargai usaha Rajendra dengan tidak menanyakan apa yang telah terjadi.

"Emang lo anak orang? Iya sih ... orang utan."

"Wah! Lo ngatain Bapak Adam? Gue telfon nih!"

Rajendra menatap Issam sinis, mencebik berulang. "Tukang ngadu."

"Bodooooooo." Issam melempar tasnya asal, segera duduk dan menelungkupkan kepala di atas meja. Tidak peduli dengan materi ujian yang akan dia kerjakan hari ini, kepalanya sejak tadi sudah terasa pening.

"Sam ..."

"Diem!"

Rajendra menahan diri, menghela napas panjang. Duduk di sebelah Issam dan terus menatap sahabatnya tersebut. Mendengar sekilas cerita dari Janu membuatnya meringis tidak tega, dia bahkan bingung menebak perasaan Issam sekarang.

"Lo nggak pa-pa?"

Issam sedikit mengangkat kepala, menatap Rajendra dengan sayu. "Nggak pa-pa. Gue ngantuk. Lo balik ke ruangan lo gih!"

"Sam ... perasaan sedih dan terpuruk itu nggak perlu disembuhkan buru-buru. Nggak pa-pa ngebiarin diri sendiri jatuh. Kalau terburu-buru buat sembuh, lo bakal lebih terluka lagi, Sam."

Setelahnya, Rajendra benar-benar meninggalkan ruangan Issam. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, dia menghubungi Janu untuk mengabari keadaan Issam sekarang. Sedangkan dalam diamnya, Issam menarik sudut bibirnya.

Dua materi telah selesai diujikan, Issam menjawabnya dengan sedikit asal-asalan. Dia benar-benar tidak bisa fokus sekarang. Rasa-rasanya ingin cepat pulang dan tidur. Tidak ingin kemana-mana ataupun melakukan apa-apa. Dia hanya ingin menarik diri terlebih dahulu dari orang lain.

"Mau beli makan dulu nggak? Atau langsung pulang?" tanya Janu setelah sampai ke ruangan Issam, diikuti Nevan dan Rajendra. Dia mendapat pesan dari Ake untuk menemani Issam terlebih dahulu sebelum Issam dijemput. "Abang lo jemputnya masih cukup lama. Kita punya waktu buat kumpul bentar, udah jarang kan?"

Gerakan Issam saat ingin menutup tasnya terhenti, helaan napas panjang terdengar. "Gara-gara gue ya?"

Janu gelagapan, dia menggeleng dan segera menampiknya. "Apa deh? Enggak ... makan dulu aja yuk!"

Issam hanya menurut ketika tangannya ditarik menuju kedai mie ayam depan sekolah. Sesekali sepanjang perjalanan, dia melirik sekitar. Takut-takut ada yang mengawasinya dan membawanya paksa. Tidak. Akhir-akhir ini Issam tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Dia selalu merasa was-was sepanjang waktu. Dan Rajendra yang berjalan paling belakang menyadari itu.

"Lo mau ketemu om gue nggak, Sam?" tawar Rajendra setelah memesan empat porsi makanan. Issam menatapnya dengan kening berkerut.

"Gue emang sering bercanda kepingin om-om, tapi bukan berarti lo cariin beneran. Gue masih suka cewek tulen kok," ujar Issam yang sudah lebih dulu pemikirannya merambat kemana-mana.

Detik itu pula Issam mendapat pukulan ringan dari Nevan. Sosok yang sejak tadi hanya diam memperhatikannya. Issam menyengir lebar, menatap Issam takut-takut. Aura Nevan ketika moodnya tidak terlalu baik cukup mengerikan.

"Lo lakik, anjing!" maki Nevan.

"Dia mah semua diembat. Cewek, cowok, yang setengah-setengah juga mau pasti nih bocah," sahut Rajendra disambut geplakan di lengan kanannya.

"Sembarangan! Dipikir gue apaan."

"Dia mah udah paten sama Syamra," celetuk Janu membuat teriakan heboh dari Nevan dan Rajendra, serta hadiah pelototan tajam dari Issam.

"Wah wah wah ... official nggak nih?"

Mereka terus-terusan meledek Issam, sedangkan Issam sendiri justru baru menyadari seharian ini belum bertemu dengan Syamra. Dia lantas segera membuka ponsel, mengabari cewek itu untuk bertemu di satu waktu. Seperti janji sebelumnya, dia akan selalu mengabari Syamra dan mencuri waktu untuk bersama.

"Nah kan bener, senyum-senyum sendiri nih anak."

Issam berdecak, berusaha untuk mengabaikan ledekan teman-temannya. Tapi suara Rajendra membuat suasana hening seketika.

"Gue serius tadi ... om gue mungkin bisa bantu lo, Sam. Beliau psikolog."

.
.
.
TBC

24-08-2022
Ruang Sembunyi

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang