"Mama stress ya?"
Ikhbar duduk di sisi kasur, menyodorkan segelas air putih bersama pil obat. Sekitar jam sembilan Papa mengetuk pintu kamarnya, memintanya untuk menemani Mama yang tiba-tiba saja terserang demam. Sedangkan Papa harus ke luar kota untuk mencoba membuka cabang restoran baru di sana.
Mama menghela napas panjang setelah berhasil menelan pil yang cukup besar tersebut. Kepalanya terasa pening, entah karena efek demam, atau justru pikiran yang kacau. Sebagai seorang ibu, tentunya dia sangat memperdulikan anak-anaknya tanpa terkecuali. Beberapa hal membuatnya khawatir terhadap Ikhbar dan Issam akhir-akhir ini.
"Nggak mau cerita sama Abang?"
Mama menggeleng, tersenyum sembari mengusap puncak kepala Ikhbar. "Mama bangga banget sama Abang."
Kening Ikhbar berkerut, tumben sekali. "Mama kenapa?"
"Gapapa. Mama cuman takut perlakuan Mama ke anak-anak Mama nggak adil."
"Aku sama Issam?"
Detik itu pula Mama menabok lengan atas Ikhbar. Dia merasa heran dari mana tingkah menyebalkan kedua anaknya menurun. "Ya menurut kamu?"
Ikhbar meringis, kan cuman nanya.
Pemuda itu berbaring di sisi kasur yang lain dengan perut Mama dijadikan bantal. Tatapannya menerawang beberapa tahun silam. Dari masa-masa kecil sampai kini dia sudah dewasa. "Dulu pas kecil, Abang sempet ngerasa iri sama Issam."
Mama diam, mengusap rambut Ikhbar. Sudah lama rasanya dia tidak melakukan hal ini.
"Papa beliin adek mainan yang banyak banget. Mama juga sering bebasin adek pas main, sedangkan Abang nggak boleh lama-lama main. Disuruh belajar mulu ..." Ikhbar sengaja menyebut Issam dengan sebutan 'Adek'. Entah kenapa dia merasa rindu memanggil Issam dengan panggilan tersebut.
Memang semasa kecil dia merasa adiknya dimanjakan, sedangkan dirinya ditekan. Ikhbar berpikir posisinya tidak lagi berarti, semua berfokus pada Issam. Apalagi adiknya itu mudah sekali bergaul, memiliki banyak teman, dan banyak orang-orang dewasa yang dulu menyayanginya. Sedangkan dirinya hanya terlalu ragu untuk dekat dengan orang lain.
"Mama minta maaf kalau dulu sering buat Abang terluka. Abang tahu kenapa Papa sama Mama bersikap begitu?"
Ikhbar mengangguk, semakin lama dia memang semakin mengerti maksud dengan perlakuan kedua orangtuanya. Lebih tepatnya ketika dia mulai mengetahui potensi diri sendiri.
"Abang lebih menonjol di akademik, sedangkan adek lebih suka di hal-hal non akademik. Itu yang Abang pahami selama ini. Karena Abang dan adek beda, sikap kalian ke kita jadi sesuai porsi dari diri masing-masing. Abang nggak salah kan?"
Ah, sudah lama sekali rasanya Mama tidak melihat sisi menggemaskan dari si sulung. Semua pernyataan Ikhbar tidak salah, sejak anak-anaknya kecil, Mama dan Papa sudah tahu arah kemana mereka berjalan. Meski dalam keadaan tidak enak badan, Mama bergerak mencium kening Ikhbar.
"Berat ya Bang jadi kakak?"
Ikhbar terdiam cukup lama. Dia memikirkan kalimat paling tepat agar Mama tidak salah paham. "Mau dibilang berat tuh ya berat, Ma. Abang punya adek, Abang harus lebih dewasa, beberapa kali Abang harus ngalah, Abang juga selalu mikir kalau Abang juga bertanggung jawab buat adek, takut gagal karena kan secara nggak langsung Abang juga panutan adek. Lebih sabar juga punya adek modelan begitu."
Keduanya sontak tertawa mendengar kalimat terakhir.
"Makasih ya udah jadi Abang yang baik banget selama ini. Tapi jangan jadikan itu sebagai beban buat kamu, kamu berhak melakukan apapun yang kamu mau. Kamu gapapa tahu kalau mau manja sama Mama, Mama kangen."
KAMU SEDANG MEMBACA
ISSAM (Lee haechan) ✔️
Teen FictionDi dalam hidupnya, Issam selalu menemukan kejutan-kejutan tidak terduga. Namun di antara kejutan itu, kenapa yang datang harus menyakitkan?