10. Keluarga Setan Katanya

820 118 7
                                    

Lembar-lembar tugas kuliah Ake berserakan di atas meja belajar, pun sama dengan suasana hatinya yang turut berantakan. Seringkali Ake bertanya-tanya kenapa dia tidak bisa diberi kebebasan seperti teman-temannya. Pergi ke club, minum, pulang pagi, dan sejenis kenakalan lainnya. Dia pikir hal itu merupakan perkara wajar untuk anak muda. Tapi nyatanya dia salah, tidak ada hal wajar untuk perkara kenakalan.

Hal yang paling lucu tepat ketika dia baru saja memasuki kamar tadi, dia justru menghubungi Dara. Menceritakan segala hal yang dikatakan Papa tanpa menyadari bahwa status mereka tidak lagi sama. Bahkan alasannya melakukan kesalahan malam ini pun juga karena putusnya hubungan mereka.

Ake terkekeh, dia menggenggam bungkus rokok yang tadi sengaja dia beli bersama teman-temannya. Seumur hidup, Ake tidak pernah sekalipun menggunakan barang tersebut. "Kalau gue ngerokok, Papa marah lagi nggak ya?"

"Marah."

Pemuda itu sontak menoleh, mendapati sang adik baru saja menutup pintu kamarnya. Dia mengernyit heran, tumben sekali masuknya Issam tidak menciptakan kerusuhan. Apalagi ketika kini tatapan Issam tidak seperti biasanya.

Remaja itu mendekat dan merampas satu bungkus rokok tersebut. "Kalau mau nyoba jangan sendiri, sama adek."

"Gila! Nggak bakal! Sini!"

Ake berusaha mengambil kembali benda tersebut, nyatanya dia kalah gesit. Issam menjauhkan benda tersebut dan melemparnya jauh lewat celah jendela. Tidak peduli apakah benda itu benar-benar terlempar jauh dan tidak ditemukan, atau justru besok pagi kembali menimbulkan kegaduhan.

"Kenapa emangnya? Cinta bikin Abang bego ya?"

"Sopan kalau ngomong sama yang lebih tua. Pernah Papa Mama ngajarin lo gitu?"

Alis Ake menukik tajam, terlihat sangat kesal. Tapi Issam justru tertawa. "Pernah juga Papa Mama ngajarin Abang ngelanggar peraturan?"

"Lo sendiri yang bilang aturan ada untuk dilanggar. Lupa?"

"Nggak. Nggak lupa. Tapi dilihat dulu aturan yang mana, Abang mah udah keterlaluan."

Sampai kapanpun sepertinya Ake tidak pernah menang berdebat dengan adiknya, dia memilih untuk merapikan meja. Meja yang sudah berantakan akan semakin terlihat kacau jika ada Issam. Bagaimanapun anak itu pasti tidak bisa diam.

"Balik ke kamar sana! Ganggu."

"Dih? Adek mau tidur di sini sama Abang."

Ake sontak berbalik, entah sejak kapan adiknya sudah berbaring di kasur dengan posisi tengkurap. Menatapnya dengan senyuman paling menyebalkan namun entah kenapa membuat Ake turut tersenyum. Dia meninggalkan kegiatannya begitu saja dan menyusul Issam.

"Kakinya heh jangan di bantal! Puter!" Ake menabok pantat Issam pelan sebab posisi adiknya yang salah. "Dek!"

"Males. Gini aja gapapa. Tinggal bantalnya pindah sini."

Ake pun mengalah, dia mengambil bantal dan melemparnya ke arah Issam. Adiknya itu tidak protes, justru tertawa kencang sebab lagi-lagi berhasil membuat kakaknya mengalah.

"Bang, ambil cemilan dong!"

"Ogah! Enak banget lo nyuruh-nyuruh."

"Enak lah. Punya Abang satu kenapa nggak dibabuin aja?"

"ADEEEEEEK!!"

Detik itu juga Ake kehilangan kesabaran, dia meloncat memiting kepala adiknya. Keduanya bergelud dengan kalimat-kalimat pedas yang masih saling terlontar. Mama yang ingin memasuki kamar Ake menahan gerakannya, memilih untuk berbalik dan membiarkan kerusuhan menjadi penutup hari ini. Ini memang bukan hari yang menyenangkan, tapi Mama bersyukur memilik dua anak yang saling menghibur meski dengan keributan.

***

Issam selalu mendefinisikan masa remaja sebagai masa dimana manusia mengumpulkan cerita kebahagiaan. Dia tidak terlalu memikirkan tentang beberapa masalah yang mungkin akan di hadapi. Tidak pula memikirkan gejolak emosi dalam diri yang sulit terkendali. Ya, Issam mulai menyadari pemberontakan dalam dirinya sendiri.

Sepulang sekolah, Issam mengabaikan ajakan teman-temannya untuk menonton bioskop bersama. Dia memilih duduk di salah satu warung soto dengan memesan dua porsi. Satu porsi dengan ukuran mangkuk kecil tidaklah cukup untuk dirinya yang sering kelaparan.

Skupidupidu alias Scoopy kesayangannya terparkir rapi dengan jok yang kepanasan, sudah pasti nanti Issam akan mengeluh dan pulang dengan wajah keruh. Jelas hal-hal kecil seperti itu akan membuatnya menceritakan kekesalan pada keluarganya. Ditambah bumbu-bumbu dramatis yang pasti sudah sangat dihapal orang-orang. Issam ini memang terkadang sangat dramatis.

"Wih porsinya sama. Harga ayam naik padahal," ujarnya tepat ketika mangkuk kecil diletakkan di atas meja di hadapannya. Memancing penjual yang kerap disapa 'Mbah' tersebut duduk berseberangan. Wanita lanjut usia ini masih memiliki semangat begitu tinggi.

"Dari dulu porsinya juga segitu, naik turun harga ayam nggak ada pengaruhnya, tole." Mbah tertawa di akhir kalimatnya, menerawang ke arah jalan raya melalui celah kain pembatas. "Murah aja sepi, apalagi mahal."

Mbah kembali tertawa, membuat Issam turut tertawa. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi Issam menyadari satu fakta yang terlewatkan. "Sering rugi dong Mbah."

"Lha piye maneh Le, cari uang itu susah. Tak kasih tahu, nanti saingan kamu bukan cuman orang pinter sama orang berbakat, tapi juga orang yang punya koneksi. Bahaya itu."

Issam terdiam, membiarkan Mbah beranjak melayani pembeli yang baru datang. Bohong kalau dia tidak memikirkan tentang masa depan, sulitnya mencari pekerjaan dan pendidikan lebih lanjut. Seharusnya sekarang dia sudah menentukan dan membuat rencana untuk nanti, tapi sayangnya dia sendiri masih bingung dengan apa yang dimau.

"Bikin pusing aja."

Setelah mengenyangkan perut, Issam pulang. Dia dibuat heran dengan mobil hitam asing yang terparkir di halaman rumah. Ngomong-ngomong, rumahnya jarang sekali kedatangan tamu. Orangtuanya lebih suka membicarakan sesuatu di rumah rekannya daripada di rumah mereka.

Samar-samar dia mendengar obrolan yang sepertinya cukup serius. Maka dari itu Issam memilih duduk di teras. Menunggu agar pembicaraan mereka lengang dan dia dapat masuk tanpa sungkan. "Ngomongin rahasia negara atau apa deh, kayak bisik-bisik."

Sebenarnya Issam cukup penasaran dengan apa yang dibicarakan, tapi sampai dia menempelkan telinga di jendela pun dia tidak mendengar inti apapun. Tapi dapat ditebak, ada perdebatan dalam obrolan di sana. "Ini Papa sama orang itu nggak mungkin berantem kan?"

Issam dibuat terkejut dengan teriakan Mama yang meminta orang tersebut pergi dari rumah mereka. Nyalinya menciut, pelan-pelan dia menjauh dan kembali duduk di kursi teras. Sampai ketika seorang laki-laki yang sepertinya seusia ayahnya keluar, tatapan mereka bertemu.

Anehnya, sosok itu mendekat ke arahnya. Issam ragu untuk menyalami ketika mengingat ketegangan yang baru saja terjadi di dalam.

"Issam?"

"Ya?"

Suasana hening cukup lama membuat keduanya sama-sama merasa canggung. Issam tersenyum tipis, biasanya dia mudah mencari topik dengan orang baru, tapi saat ini dia justru dibuat kaku.

"Udah besar ya sekarang? Yang pinter sekolahnya, nanti ketemu lagi."

Orang itu langsung pergi ketika Papa keluar dengan tatapan emosi, tepat setelah mengusap puncak kepala Issam lembut. Issam terdiam, menggenggam tangan Papa untuk menyadarkan dari amarahnya.

"Istighfar, Pa. Setan di rumah kita banyak."

"Kamu setannya," cetus Papa kesal dan menarik Issam ke dalam.

"Berarti Papa bapak setan? Kita keluarga setan?"

.
.
.
TBC

Ngebiasin Kak Haechan bikin capek juga....

Ruang sembunyi
11-05-2022

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang