33. Mati Lebih Cepat

1.3K 122 22
                                    

Issam masih berusaha untuk menutup mulutnya rapat-rapat, tapi rupanya kekuatan Rian berkali-kali lebih besar darinya meskipun dalam kondisi panik. Dia tahu, Rian tengah tidak sadar melakukan hal ini. Maka dari itu dia berusaha menghindar, bukan hanya untuk keselamatannya, tapi juga keselamatan Rian. Dia menggeleng pelan kala Rian masih berusaha untuk membuka mulutnya.

Dalam sekejap, Issam dibuat kalah telak saat Rian memukul sedikit kencang dadanya. Membuat pertahanannya runtuh, dan Rian mengambil kesempatan itu untuk memasukkan semua pil obat tidur ke dalam mulutnya. Meski sudah berusaha untuk tidak menelan, lagi-lagi Issam dibuat kalah. Semuanya berhasil melewati tenggorokannya, menyisakan Rian yang bergeming.

Laki-laki itu segera berdiri menjauh, menatap kedua tangannya yang baru saja bertindak kejam. Tangannya bergetar, menatap mata Issam yang juga melihatnya sayu. Rian terduduk shock, sedangkan Issam tengah menahan gejolak dalam dirinya. Dia merasa napasnya tersendat, terbatuk beberapa saat, napasnya semakin sesak.

"Pa--pa..."

Issam melenguh, kepalanya terasa berat dan tubuhnya semakin tidak bisa dikendalikan. Beberapa saat, dia tidak bisa menerima pasokan oksigen sama sekali. Sampai akhirnya kesadarannya menghilang setelah mengalami kejang.

Di sisi kasurnya, Rian menangis meraung. Bersujud, memukul-mukul lantai dengan kepalan tangannya. Dia menyaksikan sendiri bagaimana kesulitan Issam akibat tindakannya. Akibat dia yang terlalu kalut, akibat dari segala kegilaannya.

"Enggak ... ENGGAK! MAAFIN AYAH!"

"Maafin, Ayah..."

"Maafin Ayah."

Kembali teringat saat kelahiran sang putra, saat dimana kelahiran itu pula yang membawa kematian untuk dua jiwa. Dalam posisi yang sama, Rian menangis di sisi ranjang. Dia seolah dikembalikan pada saat berada di rumah sakit. Semuanya terputar kembali.

"Sayang, Nak ..."

Saat itu, bayi dalam gendongannya sudah tidak bernyawa. Pun dengan wanita tercintanya. Segala luka dalam dadanya seolah terbuka kembali, luka yang masih basah justru bernanah. Perih, sakit, sampai-sampai Rian tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya.

Rian merangkak kembali ke kasur, menggenggam jemari dingin Issam. Kembali menangis kala mengingat apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Laki-laki itu menggeleng cepat, tidak menyangka bahwa seseorang yang dia jaga dengan begitu baik akan membuatnya bertindak sejauh ini.

"Benar. Saya hanya petaka untuk semua orang. Saya tidak seharusnya hidup. Saya tidak seharusnya ada. Saya tidak seharusnya menikah saat itu. Saya tidak seharusnya memiliki anak. Saya juga tidak seharusnya bertemu kamu, Issam. Maafkan saya."

Tangis Rian kembali bergema di antara pejaman matanya. Dia mendengar pintunya digedor kencang, mungkin sebentar lagi pintu rumahnya akan didobrak. Matanya kembali terbuka, berganti sorot kosong dan marah. Tidak. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama untuk ke sekian kali. Dia tidak akan melampiaskannya pada orang lain.

Dia tatap wajah pucat Issam, dia usap keringat yang membasahi wajah anak itu. "Saya telah melenyapkan banyak nyawa, sudah seharusnya saya yang mati."

Setelah mengatakannya, Rian mendengar pintu kamar ini dibuka secara paksa. Dia melirik sekitar, aparat mulai melingkar dan menodongkan pistol ke arahnya. Lelaki itu pasrah ketika dipisahkan secara paksa dengan Issam. Segera Issam dibawa keluar oleh petugas kesehatan, sedangkan dirinya dibiarkan sedikit lebih lama dalam pengawasan.

Seseorang melangkah mendekat, mendorong bahunya dan menunjukkan kertas. "Anda saya tangkap dengan tuduhan penculikan, penyekapan, dan pembunuhan berencana."

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang