24. Kelahiran Issam

855 103 12
                                    

"Selamat pagi, Daru."

Senyum hangat Rian menyapa Issam yang baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menarik kursi di hadapan Rian dengan sedikit kasar, muka bantalnya terlihat kusut saat bersitatap dengan Rian. Jika saja bukan karena lapar, dia tidak akan keluar kamar. Lebih baik dia memikirkan cara untuk pergi dari tempat ini. Tapi mau bagaimanapun juga, perutnya adalah hal utama.

"Ayah udah masakin banyak makanan kesukaan kamu. Kamu pasti suka," ujar Rian sembari menuang air putih pada gelas di atas meja. Dia bersikap seolah semua baik-baik saja, seolah dia tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Dia benar-benar berperan layaknya orangtua tunggal pada putra kesayangannya.

Menghela napas panjang, Issam mulai memenuhi piring dengan makanan. Dalam kondisi apapun, dia akan tetap makan lahap. Ingat itu. Meski dia sempat curiga apakah Rian menaruh sesuatu pada masakannya sendiri.

"Kamu nggak perlu curiga, semua makanan di sini bersih."

Seolah menjawab pertanyaan dalam pikiran Issam, Rian berbicara datar. Lantas kembali tersenyum, memerhatikan Issam yang mulai sibuk dengan makanannya. Tidak pernah dia sangka setelah belasan tahun, ini kali kedua dia melihat putranya makan di hadapannya.

Jujur saja Issam merasa risi ketika terus diperhatikan, dia merasa ruang geraknya tidak bebas. Ya, memang sejak kapan dia merasa bebas ketika sudah berada dalam jangkauan Rian? Sejenak Issam terdiam kala mengunyah makanan, dia seperti merasa familiar dengan rasa ini. Remaja itu mendongak, menatap mata Rian yang masih saja memerhatikannya.

"Kenapa? Masakannya nggak enak ya? Maafin ayah, ayah seneng banget soalnya kamu di sini. Nanti ayah bakal masakin yang lebih enak."

Rian mengusap puncak kepala Issam penuh kasih sayang, senang rasanya. Meski dia harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan Issam, pria itu melirik ponselnya. Senyumnya terukir tipis, sudah dia duga akan mendapat balasan berupa cacian setelah semalam memberi sedikit gertakan.

'Adam, Issam ini Daru, anak saya. Milik saya,' batin Rian membalikkan ponselnya. Kembali memerhatikan Issam yang mulai menghabiskan makanan.

"Setelah ini, main sama ayah ya? Kita jalan-jalan di sekitar rumah, kamu belum lihat kan? Di sini tuh indah banget tempatnya, makanya ayah beli rumah ini buat kita berdua."

Issam sedikit merinding mendengarnya. Kenapa Rian terlihat hangat dan menakutkan dalam satu waktu? Ada sorot kerinduan dalam mata Rian yang membuatnya terdiam. Dia tidak tahu seberapa besar keinginan Rian untuk menjadikannya miliknya.

"Dulu ayah nggak bisa gendong kamu, harus diem-diem. Ayah lihat kamu dari jauh, pengen banget dateng buat peluk kamu. Buat beliin kamu banyak mainan, buat ngajarin kamu sepeda. Tapi ayah nggak bisa, semua orang bilang kamu bukan anak ayah. Sakit banget ayah dengernya. Apalagi Adam, orang itu kejam. Orang itu bahkan mukul ayah setiap mau ketemu sama kamu."

Rian menjeda ceritanya dengan helaan napas panjang, dia merasa sedih sekaligus senang. Bertahun-tahun hidup sendirian, lalu seseorang yang dinantikan menemaninya sarapan adalah bentuk kebahagian di puncak tertinggi. Tetapi juga sedih sebab berkali-kali ditampar pemikirannya sendiri. Tidak. Dia tidak salah. Rian yakin itu.

Pria itu lantas kembali membuka ponselnya, mengirim pesan pada seseorang.

Dan, jangan sampai mereka keras kepala nyari Daru. Hentikan mereka, siapapun itu. Dengan cara apapun itu. Saya dan Daru tidak ingin diganggu. Saya ingin bahagia.

Saya ingin bahagia dengan Daru. Sekali ini saja. Tolong.

***

Adam menatap lembar-lembar kertas yang merupakan duplikat dari pesan ancaman Rian. Tapi sebelum itu, dia mendapat pesan-pesan penuh harap dari sosok yang sama. Mengharapkan seseorang yang dianggap sebagai putranya kembali padanya. Adam menghela napas panjang, memejamkan mata di ruangan gelap sembari menunggu beberapa orang untuk diajak diskusi. Sama seperti Rian yang tidak bisa melakukan semuanya sendiri, dia juga tidak mampu mengatasinya sendiri. Dia butuh orang kuat. Kuat dalam hal pengaruh.

Kebahagiaan datang kembali ke keluarga Karim setelah kelahiran putra kedua mereka. Ya, seperti yang diinginkan. Mereka mengharapkan dua jagoan hadir dalam keluarga kecilnya. Berulang kali Adam mengucapkan syukur kepada Tuhan atas kelahiran Issam Karim.

Dia keluar ruangan setelah mengazankan Issam untuk pertama kali. Dia akan pulang menjemput putra sulungnya yang bersama sang nenek. Sebab kelahiran Issam di jam tengah malam, jadi tidak memungkinkan untuknya membawa Ikhbar bersama.

"Bagaimana rasanya?"

Tidak jauh dari ruangan istrinya, Adam terkejut seseorang datang menghadang. Menatapnya dengan derai air mata yang Adam mengerti. Orang ini orang yang sama yang dia temui semalam ketika sama-sama menantikan proses persalinan istri mereka.

"Bahagia. Bahagia sekali. Bukankah Anda juga merasakannya?"

Sosok di depannya justru terkekeh. "Ini putra kedua anda kan ya? Anda berhasil untuk kedua kalinya. Sedangkan saya, kali pertama harus gagal segalanya. Seharusnya keberuntungan anda berpihak pada saya."

Kening Adam berkerut, tidak mengerti maksud dari sosok di hadapannya. Lantas ketika dia mendengar tangis-tangis lain saling bersahutan, dia mulai menebak-nebak. Matanya membulat sempurna, terkejut akan hal yang baru dia sadari. Padahal semalam mereka sama-sama berbagi cerita tentang perasaan takut menanti kelahiran.

Adam tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya memeluk singkat dan menepuk pundak sosok di hadapannya.

"Ini tidak akan menyembuhkan saya. Boleh nanti saya mencoba menggendong putra anda? Saya ingin merasakannya."

Tanpa menaruh kecurigaan apapun, Adam tersenyum seraya mengangguk. "Tentu. Tapi saya pulang dulu, saya jemput anak pertama saya."

"Pasti menyenangkan punya dua anak. Sempurna sekali hidup anda."

Adam tidak mengatakan apa-apa, langsung beranjak dari rumah sakit. Tapi tidak pernah dia duga ketika kembali dia justru dihadapkan dengan tangis Amara sebab kehilangan Issam. Bayi mungil mereka.

"Anda boleh berduka, tapi tidak dengan merebut kebahagian saya, Tuan Arian."

Ketukan pintu membuyarkan Adam dari lamunan panjangnya, dia tidak menyadari bahwa dia tengah menangis sekarang. Seseorang masuk dengan tergesa, pakaian kerjanya terlihat tidak rapi.

"Kenapa lo minta anak gue berhenti nyari Issam padahal sebelumnya lo sendiri yang nyuruh?" cecarnya menatap Adam tajam, rasanya dia ingin memaki rekannya tersebut.

Tanpa mengatakan apa-apa, Adam menunjukkan lembar yang berisi pesan yang dia dapatkan semalam. "Lo pikir gue bakal keras kepala ketika ancaman dia keselamatan Issam?"

Seno menghela napas kasar, dia tidak tahu bahwa semuanya akan serumit ini. Terlebih semalam dia berdebat panjang dengan Janu yang sudah kepalang emosi sebab ditarik secara paksa ketika akan berangkat ke Bandung.

"Pa, kemungkinan besar Issam ada di sana. Sama seperti kejadian yang Om Adam ceritakan. Aku mau ke sana."

Masih teringat jelas sorot merah dan amarah di mata Janu. Sampai-sampai pagi ini dia memakan waktu cukup lama untuk membujuk Janu agar mau berangkat sekolah.

"Jangan libatkan mereka. Terlalu bahaya. Biar orang-orang dewasa yang menyelesaikan ini," ujar Adam membuang napas kasar. Dia ingin teriak saja rasanya.

"Yang terpenting sekarang Issam berada dalam jangkauan gue. Urusan Rian ke depannya gimana, urusan belakang. Kita bawa Issam pulang dulu. Itu paling penting," lanjut Adam disetujui Seno. Dia juga sudah menghubungi beberapa orang untuk membantu menyelesaikan ini.

"Lebih penting lagi ada yang mantau rumah ini. Rian bisa tahu kita kemana aja."

"Gue cuman mau anak gue, Sen. Kenapa susah banget."

.
.
.

09-08-2022
Ruang Sembunyi💚

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang