6. Patah Hatinya Ikhbar

1.1K 118 4
                                    

Lima tahun yang lalu, Dara menyambut pelukan dari laki-laki yang dicintainya dan mencintainya. Saat itu mereka baru saja mengenal kata cinta, baru tahu rasa ingin memiliki dan terus menemani. Mengabari setiap hari, menghabiskan waktu bersama setiap akhir pekan, dan saling memberi hadiah dari hasil tabungan. Dulu berjalan begitu baik sebab mereka hanya ingin bersenang-senang.

Tapi semakin lama, ada beberapa hal yang tidak bisa berjalan bersama. Karakter hampir sama dari keduanya justru menjadi boomerang di masa sekarang. Sama-sama sulit menyatakan keinginan menjadikan hubungan mereka sering terjerumus dalam kesalahpahaman.

Dara menyandarkan tubuh pada kursi Cafe Miki Niki, memilih meja panjang yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu, memastikan kedatangan kekasihnya. Bukan hal yang asing jika hal sederhana seperti waktu membuat keduanya berselisih. Dara yang selalu disiplin waktu, sedangkan Ake sering terlambat dengan berbagai alasan.

Bahkan sekarang Dara tengah menebak alasan apa yang akan Ake berikan padanya setelah datang. Bertahun-tahun tetap berjalan demikian, berujung perdebatan, lantas besoknya berbaikan. Terus berulang tanpa ada niat dari keduanya untuk mencoba memperbaiki.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada anak kecil yang duduk di seberang jalan. Dara menyipitkan mata, mencoba mengamati apa yang anak itu lakukan. Lalu lintas yang cukup ramai dan jalan raya yang lebar membuatnya sedikit kesulitan. Anak kecil itu berseragam merah putih tengah berdiri sendirian dengan menenteng kantong kresek entah berisi apa. Dara terkekeh, mengingat bagaimana dulu dia nekat jalan kaki sendirian.

Dia beranjak, memutuskan untuk menghampiri anak kecil tersebut daripada harus memikirkan yang aneh-aneh. Saat sudah di tepi jalan, Dara melambaikan tangan pada anak kecil tersebut yang langsung ditanggapi.

"Adek baru pulang sekolah ya?" tanya Dara setelah sampai tepat di depan anak kecil laki-laki tersebut. Melihatnya mengangguk membuat Dara tersenyum tipis, memilih berjongkok sampai tinggi anak itu lebih darinya. "Nggak nunggu dijemput?"

"Mama jemputnya lama. Kakak siapa?"

"Panggil aja Kak Dara, kamu namanya siapa?"

"Aji, Kak. Kakak mau es nggak? Aku beli banyak." Aji mengangkat kantong keresek putih di depan wajah Dara, menunjukkan jajanan yang dia beli. "Ada es Kiko. Kakak mau rasa apa?"

Dara kembali tersenyum, mengajak Aji untuk lebih menepi. "Kamu makan aja."

"Ambil aja, Kak. Nanti kalau ketahuan Mama pasti dimarahin beli banyak."

"Kalau tahu bakal dimarahin, kenapa beli?"

Aji tertawa, mendongak pada Dara yang kini duduk di sebelahnya setelah mereka duduk di tepi trotoar. "Sengaja bikin Mama marah, tapi sekarang takut."

Hanya dengan tawa Aji saja sudah membuat perasaan Dara membaik. "Rumahnya di mana? Kok berani jalan sendirian?"

"Masuk gang sana, Kak." Aji menunjuk jalan kecil yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka. "Berani. Sudah terbiasa, hehe. Aku kan udah gede."

"Jangan mau cepet gede."

"Mau. Nanti bisa naik motor, bisa punya uang sendiri biar nggak minta Mama terus, bisa kemana aja."

"Bener kata kakaknya, Ji. Jangan mau cepet-cepet dewasa. Nikmatin dulu sekarang main-main, masa bandel-bandelnya. Nikmatin masa diomelin tiap hari sama Mama." Seseorang yang sebelumnya menyimak dari jarak tidak terlalu jauh pun kini mendekat, duduk di sisi Aji yang lain seraya melirik Dara.

"BANG AKBAR!"

"Ikhbar, Aji. Kok Akbar?" Ake protes, sering kali mereka bertemu, tapi Aji tidak juga mengingat namanya. Letak Cafe Miki Niki yang tak jauh dari sekolah adiknya membuatnya sering menunggu Issam pulang di sini. Miki Niki juga tidak jauh dari gedung fakultasnya, meski memang tetap harus menggunakan kendaraan dibandingkan berjalan kaki. Mungkin karena hal ini dia dan Aji sering dipertemukan.

ISSAM (Lee haechan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang