[41] Pusara

1.6K 101 18
                                    

Pagi itu, Alaska langsung dimakamkan. Betapa terkejutnya Wilona dan Geraldi ketika melihat pelayat yang datang begitu membludak. Kabar kematian Alaska begitu cepat, bagai mimpi buruk bagi setiap orang yang mengenalnya. Walaupun sedikit galak, Alaska dikenal sangat baik. Ia sering menolong orang tanpa pandang bulu. Mulai dari guru, murid-murid SMA Garuda, teman SMP hingga taman kanak-kanak, para anak-anak di panti asuhan pelita bunda yang rutin Alaska kunjungi ketika bolos sekolah, anak jalanan yang pernah Alaska traktir sarapan, para tetangga, hingga warga komplek sebelah. Semuanya, menyayangi Alaska.

Bau semerbak hujan yang jatuh menghantam bumi menambah atmosfer suasana pemakaman menjadi lebih dingin. Satu persatu pelayat sudah pergi, menyisakan Senja, Leon, Gilang dan Galaksi. Mata mereka menatap sedih kearah pusara yang bertuliskan nama 'Alaska Aldebaran'

"Gue gak pernah nyangka, akhirnya bakal seperti ini," ucap Galaksi tiba-tiba.

Langit masih mendung, sejak pagi terus saja hujan, berhenti, lalu kemudian hujan lagi. Seakan langit turut bersedih atas dipeluknya Alaska oleh bumi.

"Gue duluan," ucap Leon sambil berjalan menuju parkiran. Jika kalian mengira hanya Senja dan orang tua Alaska saja yang merasa paling kehilangan, kalian salah.

Bagi Leon, Gilang, dan Galaksi, Alaska sama berartinya seperti keluarga mereka. Leon tidak pernah menyangka sahabatnya akan pergi secepat ini, meninggalkan masa remaja mereka yang sebentar lagi akan menuju jenjang yang lebih dewasa.

Gilang datang menyusul Leon, meninggalkan Galaksi dan Senja berdua di depan makam yang masih basah.

"Ayo balik, udah mau ujan," ajak Galaksi yang tentu saja ditolak oleh Senja.

"Duluan, kak."

"Ja.."

"Please. Gue butuh sendiri."

Sejujurnya, Galaksi merasa bingung. Ia takut meninggalkan Senja sendiri, namun gadis itu tidak mengingkan kehadirannya. Tapi ia memilih untuk pergi dan meninggalkan Senja sendiri.

Rintik hujan mulai jatuh lagi, namun tak ada tanda-tanda Senja beranjak dari sana. Air matanya luruh bersamaan dengan hujan yang turun. Dipegangnya pusara Alaska, bahunya bergetar hebat karena tangis.

Sebuah ingatan tentang janji Alaska yang mengatakan akan pulang muncul dalam pikirannya.

"Katanya mau pulang? kok malah kesini?" tanya Senja yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban.

"Tega ya, lo. Ninggalin gue pas lagi sayang-sayangnya."

"Padahal, gue mau dateng ke acara kelulusan lo."

"Harusnya sejak awal lo gak perlu ngasih gue kenangan indah sebanyak itu.."

"Setelah ini, gimana gue harus hidup Alaska?"

Ucapan itu terus terdengar dari mulut Senja yang berbicara pada tubuh yang terbaring dua meter di bawah tanah.

Semakin derasnya hujan yang turun, bertambah deras pula air mata yang jatuh. Senja menunduk dalam-dalam, ia terisak hebat. Tidak ia pedulikan bajunya yang basah kuyub karena hujan-hujanan. Tiba-tiba, Senja merasa derasnya hujan tidak mengenai tubuhnya lagi.

"Bangun, nanti lo sakit."

Sebuah payung hitam menaungi tubuh Senja, membuat sang pemilik membiarkan tubuhnya basah demi membuat gadis itu aman. Namun, Senja masih dalam posisinya. Menyelesaikan tangisan agar memberikan sedikit rasa lega.

Bermenit-menit berlalu, mereka sama sekali tidak berubah posisi. Pria itu masih setia menaungi Senja walau bajunya basah semua.

Pria yang sama sekali tidak pernah Senja rasakan kehadirannya, itu Darren.
_________

Senja Di Teluk Alaska | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang