Hari sudah malam, namun suasana duka itu masih terasa setelah neneknya selesai di makamkan. Keluarga Geraldi sengaja menjadikan rumahnya sebagai rumah duka karena ia adalah anak pertama.
Setelah neneknya meninggal, sebisa mungkin Alaska tidak mengeluarkan air mata. Ia menyambut tamu yang datang, menggantikan ayahnya yang sedang berperan sebagai anak yang ditinggal mati ibunya. Sedangkan Wilona? Ia harus menjadi istri yang selalu menenangkan suaminya.
Para tamu yang membaca doa sudah pulang kerumahnya masing-masing. Hanya menyisakan keluarga dan orang-orang terdekat Alaska saja.
Galaksi, Leon, dan Gilang masih menemaninya. Namun, Alaska tidak melihat Senja.
Kecewa.
Alaska yakin Senja sudah mendengar kabar kematian neneknya. Namun, kenapa ia tidak juga datang?
"Lo kalo mau makan, ke dapur aja." celetuk Alaska kepada ketiga temannya.
Leon menyengir, "Boleh tuh."
Gilang langsung memukul pelan lengan Leon, "Gak sopan. Dikira lagi piknik!"
Alaska hanya tersenyum tipis, "Santai aja kali. Keluarga gue gak papa." setelah mendengarnya, Gilang tersenyum lalu langsung melipir menuju dapur bersama Leon. Meninggalkan Alaska bersama Galaksi di depan televisi.
"Lo, gimana?" tanya Galaksi.
"Gimana apanya?"
"Lo- gak papa?" pertanyaan singkat dari Galaksi ternyata membawa efek membingungkan bagi Alaska.
Tentu saja ia harus menjawab, "Gue gak papa."
"Sekarang, lo butuh Senja?"
Gue butuh Senja.. "Enggak. Biar aja mungkin dia sibuk."
Satu alis Galaksi terangkat, lalu ia beranjak dari sofa dan memukul pelan bahu Alaska sebelum pergi.
Akhirnya, Alaska sendiri.
Hari sudah malam. Para pelayat masih ramai namun di tempat Alaska saat ini dia sendiri. Om nya sudah menggantikan Alaska untuk menyapa para tamu. Geraldi pun saat ini sudah merasa lebih baik.
Alaska butuh waktu sendiri. Hari ini, ia sudah bertemu terlalu banyak orang.
Pria itu berjalan menuju taman belakang yang tidak terjamah banyak orang karena tergolong gelap dan hanya lampu taman satu-satunya sumber cahaya selain lampu rumahnya.
Alaska jatuh terduduk, dengan menyandar pada tembok. Matanya memandang lurus ke arah ayunan. Di otaknya, terputar kenangan-kenangan bersama neneknya yang ia buat di taman itu.
Air matanya meluncur bebas, namun tidak dibarengi dengan isakan. Alaska masih mempertahankan dinding kokoh yang menyembunyikan kerapuhannya.
Derap langkah kaki terdengar mendekatinya. Kaki berbalut kaus kaki berwarna pink itu berhenti tepat di depannya. Sang pemilik, berjongkok agar sejajar dengan Alaska.
Itu Senja.
Gadis itu datang.
"Ngapain lo dateng?"
Senja tertegun, ia sudah menebak bahwa Alaska pasti kecewa akan kehadirannya.
"Are you okay?" tanya Senja rertoris. Ia tak menjawab pertanyaan Alaska tadi.
Alaska tak menjawab lagi. Ia memalingkan wajah. Matanya kembali menatap lurus, mengabaikan Senja yang berada di depannya.
Tiba-tiba saja.. Senja merengkuh Alaska dalam pelukannya.
Ada gemuruh aneh dalam tubuh Alaska. Jantungnya memompa lebih cepat. Tindakan tiba-tiba Senja memberi efek besar bagi Alaska. Seluruh badai yang tertahan kini mulai menyeruak keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Teluk Alaska | ✔
Ficção Adolescente[END] "Bahkan hingga akhir, Senja tetap terbenam di Teluk Alaska." (sedang dalam proses revisi, banyak bab yang masih berantakan)