[27] Sebuah Kenyataan

2.1K 166 5
                                    

Festival sekolah berjalan lancar. Sepanjang acara, Alaska sudah bertindak bak seorang bodyguard untuk Senja. Kemana pun gadis itu pergi, Alaska akan selalu mengikutinya. Pak Arman sudah berdamai dengannya, dengan syarat besok Alaska harus mengembalikan warna asli rambutnya.

"Udah mau pulang?" tanya Alaska.

Senja mengangguk, ia menyenderkan kepalanya di bahu Alaska.

Alaska tersenyum menanggapinya, "Katanya mau pulang, kok malah nyender?"

"Sebentar aja, cape." mata Senja memejam.

Alaska menatap wajahnya lamat-lamat, berharap wajah itu bisa ia lihat setiap hari dan selamanya. Tanpa sadar ia tersenyum, ketika mendengar dengkuran halus dari Senja.

Gadis itu tertidur di bahunya.

Selama beberapa waktu, ia biarkan waktu berjalan lambat agar Alaska bisa lebih lama bersama Senja.

Sebelum akhirnya, sebuah dering televon, berbunyi di handohone Alaska.
___________

Geraldi dan Wilona sedang bersiap menuju rumah sakit. Ibu dari Geraldi yang memang sakit-sakitan di kabarkan kritis akibat penyakit yang selama ini di deritanya.

"Televon Alaska gak, pa?" tanya Wilona.

Geraldi yang sedang memasukkan barang-barang kedalam mobil meliriknya, "Papa tadi udah televon. Katanya nanti dia nyusul sendiri."

Wilona hanya ber-oh-ria.

Belum lama sejak mereka mengunjungi nenek Alaska, padahal kemarin masih sempat bertukar kabar namun kini sudah masuk rumah sakit kembali. Memang, sejak beberapa tahun terakhir, rumah sakit menjadi tempat tinggal kedua bagi nenek Alaska --akibat penyakit leukimia atau yang kita kenal dengan sebutan, kanker darah stadium empat.

Wilona menenangkan Geraldi yang tampak gelisah, "Gapapa. Everything will be okay."

"Saya udah ikhlas kalo emang ibu pergi."
_________

"Alaska, gak mau mampir dulu?" tanya Senja sesaat setelah ia membuka helm dan turun dari motor.

Alaska menggeleng, "Gak usah, Ja. Gue balik aja."

Senja yang menyadari kegelisahan Alaska sejak ayahnya menelvonnya pun merasa bingung. Ia tak berani bertanya, ia takut Alaska merasa tak nyaman jika ia mencampuri urusan pribadinya. Namun disisi lain, Senja merasa berhak karena Alaska adalah pacarnya.

Alaska merebut helm dari genggaman Senja membuat gadis itu agak terkejut. Ia menatap pacarnya yang sama sekali tak tersenyum atau mengucap sepatah-duapatah kata manis.

Bibirnya ingin sekali berucap, namun melihat sikap dingin Alaska ia mengurungkan niatnya.

"Gue pulang ya."

Senja mengangguk tulus, "Iya. Hati-hati."

Tanpa ada ucapan lain, motor Alaska melaju kencang. Meninggalkan sejuta tanda tanya dalam diri Senja. Harusnya gadis itu bahagia karena seharian sudah ditemani Alaska. Namun, ia lebih bahagia lagi jika sampai akhir, Alaska tetap menemaninya.

Dengan langkah berat, Senja masuk kedalam rumahnya.
___________

Ditengah lajunya kendaraan Alaska, pria itu tak henti-hentinya berpikir mengenai Senja. Sejujurnya, Alaska agak kecewa dengan gadis itu yang seperti tidak memperdulikan kegelisahannya. Ia ingin di mengerti tanpa harus berbicara. Ia sungguh ingin Senja bertanya keadaannya, ia juga ingin berbagi kesedihan. Namun entah mengapa, Senja seakan tak peduli dan pura-pura tak tahu.

Sejak ayahnya memberi tahu keadaan neneknya, pikiran Alaska terus terbagi. Mengenai sikap menyebalkan Senja, dan mengenai nenek yang ia sayang.

Motornya melaju bertambah kencang, hari mulai sore dan besok pagi ia harus pergi kerumah sakit. Hari ini, ia terlalu lelah. Alaska butuh waktu sendiri untuk mendamaikan pikiran, atau sekedar mencari alasan mengapa Senja bersikap tak peduli.
__________

Senja Di Teluk Alaska | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang