Part 4. STRANGE FEELING

10.5K 1.3K 180
                                    

Zufar Pov

Aku berusaha mengabaikan sosok gadis berkerudung putih yang berjalan di belakang adik-adik koas bimbinganku.
Kenapa lagi dengan kakinya? Langkah kaki Fiyya seperti diseret. Apa mungkin kakinya terkilir karena tersandung di tangga darurat.

Kapan anak ini tidak ceroboh. Aku sendiri tidak habis pikir, mengapa dia hobi naik tangga darurat. Kalau aku memang lebih senang naik tangga untuk olahraga. Selain karena lift yang ada lebih diprioritaskan untuk pasien dan keluarga yang mengantar.

Alasan lainnya karena aku sudah beberapa kali pernah terjebak di dalam lift. Rumah sakit sebagus ini, masih saja terkendala masalah maintenance sarana prasarana. Sungguh mengesalkan.

Belum lagi beberapa hari lalu aku justru terjebak bersama Fiyya di dalam lift yang tiba-tiba mati. Aku melihat dia menangis dan kejadian itu membangkitkan memoriku yang sudah lama tertidur.

Aku sudah pernah bertemu Fiyya sewaktu dia masih memakai seragam putih abu. Gadis itu menjenguk Rezi di rumah sakit. Aku sedang koas di bagian bedah dan ikut merawat Rezi. Dia salah seorang pasien kesayanganku.

Ahmad Fahrezi. Usianya masih muda saat didiagnosis penyakit osteosarcoma. Osteosarcoma adalah kanker ganas tulang yang menyerang tulang panjang. Terutama di daerah lutut. Penyakit ini juga yang membuat Rezi harus kehilangan kaki kanannya.

Ia menjalani amputasi karena ukuran tumor di lututnya semakin besar. Hampir setiap kali Rezi masuk rawat inap untuk kemoterapi, ia selalu bercerita tentang gadis itu. Namanya Fiyya Zahrana. Rezi memiliki panggilan khusus untuk Fiyya.

"Dok, sini aku mau tunjukkin sesuatu. Ini foto teman aku. Namanya Fiyya Zahrana. Aku panggil dia Ara."

"Rezi mau tunjukkin foto gadis yang dia suka, Dok." Bunda Vina, ibu dari Rezi tersenyum ke arah kami berdua.

"Cie, kecil-kecil sudah punya gebetan. Pacar kamu ya, Zi?" Aku ikut menggoda Rezi.

"Bukan pacar, Dok. Ara nggak mau pacaran. Dia maunya pacaran setelah menikah. Cantik nggak, Dok? Ara, Yahya dan Faris, mereka teman baik saya. Dari mulai saya belum sakit sampai sekarang."

Aku memandang foto yang ditunjukkan Rezi. Ada seorang gadis berhijab dengan pakaian putih abu, bersama tiga orang laki-laki. Mereka berfoto di lapangan sekolah, depan tiang bendera. Lucunya, Fiyya duduk dibatasi oleh tumpukan tas sekolah bersama tiga teman laki-lakinya.

"Manis sih anaknya."

Entah kenapa waktu itu aku bisa-bisanya mengakui wajah Fiyya terlihat manis di foto. Sudah seperti iklan air mineral.

"Dokter tahu, pertama kali kami mulai berteman gara-gara apa? Bunda keluar dulu. Rezi mau cerita berdua dokter Zufar."

Bu Vina menuruti permintaan putranya. Waktu itu hanya ada kami berdua.

"Kenapa Bunda diminta pergi? Memangnya ini rahasia antara kita berdua?"

Rezi tertawa dan mengangguk.

"Takutnya Bunda marah. Soalnya aku mau cerita awal kami bertemu karena dihukum guru BP. Kami beberapa kali terlambat masuk sekolah. Setelah itu harus lari tujuh keliling lapangan upacara sebelum masuk kelas."

Aku tertawa karena tidak menyangka ternyata Rezi memiliki sisi nakal. Aku membiarkannya bercerita sampai puas.

"Tadinya aku kira Fiyya, Faris dan Yahya sama bandelnya sama aku. Aku sengaja datang terlambat ke sekolah karena malas. Tapi mereka ternyata punya alasan sendiri-sendiri yang membuat aku malu. Faris membantu ayahnya bekerja di bengkel motor sepulang sekolah sampai malam. Dia sering terlambat bangun pagi.

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang