Semua dokter umum sedang menggelar rapat di aula. Menentukan siapa yang selanjutnya akan menjadi asisten dokter Zufar yang kerap dipanggil lion. Mereka membahasakan siapa yang akan terpilih jadi "pawang", karena biasanya singa ganas butuh pawang.
Semalam mereka sudah membuat kesepakatan di grup chat. Siapa yang hari ini datang kesiangan saat rapat, dia yang akan jadi kandidat manusia terpilih. Nara jadi salah satu yang gelisah menelepon sahabatnya, Fiyya.
Duh, nih anak kemana sih? Telat lagi. Pasti alasannya karena semalam tidak bisa tidur.
Tidak lama telepon diangkat dan terdengar nada suara Fiyya melemah di seberang sana. Napasnya terdengar memburu.
"Na, siapa aja yang belum datang rapat? Bukan cuma gue, 'kan? Ban motor gue bocor."
"Haish. Ini sudah tinggal battle antara Lo sama Syanum. Buruan, gue nggak bisa bantu kalau Lo telat datang."
"Iya, gue lari deh kesana. Tungguin."
"Terus motor Lo?"
"Gue tinggal di bengkel dulu."
"Eh. Kok gitu. Aman nggak tuh?" Belum sempat Nara selesai bertanya, telepon sudah ditutup.
Nara kembali ke teman-temannya yang sedang berkumpul di aula. Dia mencoba meyakinkan kalau Fiyya sudah berada di jalan. Entah di jalan sebelah mana. Tapi yang jelas dia yakin Fiyya sekarang sedang jadi atlit sprint.
***
Jam 07.15.
Telat absen, ngos-ngosan dan tidak sempat membetulkan hijab yang dia kenakan. Fiyya mengumpulkan oksigen banyak-banyak dari parunya. Mungkin kalau saat ini ujung jarinya dipasang saturasi, kadar oksigennya sudah menurun alias hipoksia.
Lift terbuka dan gadis itu berlari mengejar waktu. Bibir tipisnya mengurai senyum karena Nara memberitahu kalau Syanum belum datang.
Dia tidak memperhatikan siapa saja yang berada di dalam lift. Tinggal sedikit lagi dia sampai ke aula tempat rapat dokter umum diadakan. Pintu lift terbuka di lantai satu.
Ada pasien lansia yang didorong dengan kursi roda oleh anaknya. Wanita paruh baya yang berdiri di belakang kursi roda tampak berharap ada seseorang yang berbaik hati memberikan tempat di dalam lift.
Posisi lift penuh dan aula masih enam lantai lagi. Fiyya akhirnya mengalah dan memilih untuk keluar. Ada pasien yang lebih membutuhkan. Lagipula usianya masih muda dan kuat untuk naik tangga.
Dia berjalan cepat menuju tangga darurat. Tiba-tiba saja tangan seseorang seperti mencekal ransel yang Fiyya bawa. Gerakannya jadi melambat.
"Beri jalan lebih dulu sama senior. Kamu di belakang." Bibir lelaki itu mengeluarkan kata-kata angkuh.
Fiyya menggigit bibir kuat-kuat karena tidak menyangka pria yang menyusul keluar dari dalam lift adalah si 'lion'.
Fiyya paling benci bahasa junior-senior. Meskipun dia sadar masih kalah jauh kalau beradu usia, apalagi beradu ilmu.
Kalau saja tangga darurat tidak cuma satu, mungkin dia sudah memilih jalur naik alternatif lainnya. Pintu menuju tangga darurat terbuka dan mulailah Fiyya mengekori langkah si lion.
"Kamu yang kemarin jawab konsulen atas nama saya?"
Debaran jantung Fiyya bertambah setiap kali mendengar suara pria di depannya ini seperti menuduh.
Ah, mungkin hanya perasaan Fiyya saja. Perasaannya sebagai seorang perempuan terlalu halus untuk disakiti dokter Zufar.
Kadang Fiyya punya panggilan tersendiri untuk dokter yang ulala ini. Zuppa soup. Itu lebih baik ketimbang nama asli pria ini yang artinya singa.
"Kamu yang namanya Fiyya Zahrana, 'kan?"
Deg.
Debaran jantung Fiyya bertambah kencang.
"Iya Dokter, saya yang menjawab konsulen kemarin. Waktu itu saya sudah kirim ke Dokter dan Dokter bilang oke." Fiyya jadi ngeri sendiri.
Ingin rasanya dia menelepon Nara dan mengatakan kalau sekarang sedang bersama 'singa'.
"Kamu yakin waktu itu saya hanya balas dengan jawaban oke? Coba kamu teliti lagi, balasan pesan saya apa."
Fiyya langsung membuka kembali ponsel miliknya.
"dr Zufar, Internist : "Oke."
Me : "Baik Dokter, terima kasih."
dr Zufar, Internist : "Konsulennya hanya untuk tatalaksana DM saja atau bagian Anenstesi minta toleransi operasi juga?"Gubrak. Ternyata ada balasan pesan dr Z yang tidak terbaca Fiyya.
Hika. Sepertinya Zuppa soup ingin memberi sinyal bahwa otak Fiyya selama ini jarang diajak berpikir.
Baru kali ini Fiyya tidak teliti membaca konsulen. Mungkin kemarin dia terburu-buru karena ada panggilan kegawatan di bangsal lain.
"Kamu belum menjawab toleransi operasinya. Lain kali lebih teliti. Beruntung teman jaga setelah shif kamu, menghubungi saya. Jadi pasiennya tidak dirugikan dan aman untuk tindakan."
Antara malu dan geram, Fiyya hanya bisa diam mendengarkan omelan Zuppa soup.
"Baik Dokter." Jawab Fiyya pasrah.
Keduanya berpisah di anak tangga darurat lantai dua karena dokter Z masuk ke area poliklinik.
Fiyya lanjut berlari menaiki anak tangga. Ketika sampai di aula, rasanya dia ingin menangis melihat temannya Syanum sudah lebih dulu masuk ruangan. Langkah kakinya bergerak melambat.
Pintu aula terbuka dan satu per satu temannya keluar. Rapat sudah selesai dan menentukan siapa asisten dr Zufar berikutnya.
"Fi, selamat ya. Kamu yang terpilih jadi asisten dokter Z bulan ini."
Jiwa Fiyya seketika terguncang. Mimpi apa dia semalam, harus menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.
Seolah saat ini lantai yang sedang dia pijak, sedang bergetar. Seperti tengah dilanda gempa bumi tujuh skala Richter.
Nara ikut keluar dan setelah ini Fiyya akan menangis berjama'ah bersama sahabatnya.
"Ada yang mau tukeran sama gue nggak, Na?"
Fiyya terduduk lemas di kursi, ditemani Nara.
"Gue belum pernah sih jadi asisten dr Z. Tapi kayaknya nggak buruk-buruk amat kok. Beliau care sama pasien, jadi kadang kita sering terlihat bodoh di depannya kalau kita nggak teliti."
Nara bermaksud menghibur Fiyya yang matanya sudah basah.
"Tadi tuh gue ketemu si lion di tangga darurat. Langsung ditegur kesalahan gue waktu jaga."
"Kalau kata dr Kafka sih, dr Zufar cuma jaga image galak doang di depan kita-kita. Ners Anita juga bilang gitu. Aslinya orangnya asyik kok."
"Asyik apaan. Lo kok jadi belain dia sih. Jangan-jangan Lo suka ya, sama dia?" Fiyya menatap Nara dengan pandangan menyelidik.
"Nggaklah. Gue dari dulu suka sama lelaki yang lebih dewasa."
"Siapa? Gue tahu orangnya?" Ah. Sempat-sempatnya Nara mengalihkan kesedihanku dengan rasa penasaran siapa gebetan gadis ini.
"Ada deh. Nanti kalau Lo tahu, ikut naksir lagi. Saingan gue tambah banyak. Udah nggak usah sedih. Semua juga bakal gantian jadi asisten dr Z. Semangat ya Sayangku." Nara menepuk bahuku.
"Lo jadi asisten dokter siapa bulan ini."
Dengan wajah sumringah Nara menjawab. "Dokter Kafka dong. Dokter favorit sepanjang masa. Idola para dokter-dokter jomlo."
Heh. Rasanya aku ingin mencubit pipi Nara yang terlihat bahagia di atas penderitaanku.
***
Selamat datang pembaca baru cerita Ummi di cerita "Debaran."
Jangan lupa dukung Ummi dengan FOLLOW akun @penahijrah1981,
Votes ⭐⭐⭐ dan komen di cerita ini.Dukungan pembaca sangat berarti untuk penulis. Terima kasih. ❤ ❤ ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomansSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...