Part 18. HIS SMILE

6.9K 1.1K 124
                                    


Fiyya tertegun ketika ibu mengatakan ada amplop besar berwarna coklat di atas meja. Tadi sebelum pamit pulang, dr Zufar menitipkan amplop itu ke ibu. Penerima yang dituju adalah Fiyya.

Rencana Fiyya ingin menjenguk ke rumah dr Kafka bubar, karena secara eksplisit dr Z melarangnya pergi kesana. Akhirnya Nara juga tidak berangkat ke rumah dr Kafka. Alasannya dia takut ketahuan dr Sultan.

Nara sedang ngehalu dr Sultan juga melarangnya pergi. Fiyya lagi-lagi tertawa melihat kehaluan Nara. Apa hubungannya coba, sama dr Sultan.

Sebenarnya Fiyya sudah memiliki perasaan tidak enak terhadap dr Kafka yang tiba-tiba mendekatinya. Apalagi setelah dia tahu kalau dr Kafka adalah sepupu Laras. Banyak orang di RS yang akhirnya menghubungkan Laras dengan dr Zufar, sejak insiden drama di IGD dan di rawat inap.

Di dalam kamar, Fiyya membuka amplop cokelat besar dari dr Zufar. Ada map di dalamnya. Belum sempat membaca isinya, dia mendengar suara mobil Fauzan, kakak Fiyya berhenti di depan rumah.

"Dek, Mas sudah datang. Ayo kita jalan."
Suara Fauzan terdengar dari ruang tamu.

Jam lima sore tadi, Mas Fauzan mengirimkan pesan kalau mau mengajak Fiyya ke Kafe Lembayung Senja.

Fiyya merapikan kerudung merah muda dan blus berwarna putih berenda di ujung lengannya. Dia memakai rok senada dengan warna kerudungnya. Fauzan berdehem ketika melihat Fiyya keluar kamar.

"Dek, cantik amat yang mau pergi sama Mas. Ntar dikirain kamu pacarnya Mas lho." Fauzan bisa-bisanya berkelakar sampai membuat pipi adiknya merona.

"Apa Fiy ganti baju yang agak gelap aja ya, Mas?"

Fiyya jadi tidak percaya diri dengan penampilannya malam ini. Dia hanya ingin lebih rapi jika pergi keluar rumah. Apalagi bersama kakak sulungnya yang selalu tampil keren di kantor.

"Nggak usah ganti baju lagi, Fiy. Nanti cucian baju Ibu tambah banyak." Ibu yang duduk di ruang tamu, mengingatkan Fiyya.

"Kan cucinya pakai mesin Bu. Biasanya juga Fiyya yang gosok." Fiyya melirik Ibu.

"Sayang sabun cuci dan pewangi pakaiannya." Ibu terkekeh seraya memberi sinyal kalau beliau mengizinkan kedua anaknya pergi.

Fiyya dan Fauzan pamit setelah mencium punggung tangan ibu. Fiyya masuk ke Toyota Rush milik Fauzan dan mereka menyusuri jalan menuju kafe.

Rasanya sudah lama sekali, mereka tidak makan berdua. Mungkin tepatnya setelah Fauzan menikah, karena memilih untuk makan malam di rumah bersama istrinya tercinta. Suami yang terdeteksi bucin tingkat kronik.

Mobil Fauzan melambat masuk ke tempat parkiran Kafe. Dulu sebelum menikah, setiap bulan Fauzan sering mengajak Fiyya wisata kuliner. Ia pintar mencari kafe yang makanannya enak tapi ramah di kantong.

Keduanya kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam kafe. Fauzan selalu membuat reservasi terlebih dulu. Fauzan tidak mau sampai di tempat, mereka malah tidak dapat tempat duduk. Pramusaji menghampiri mereka dan mencatat pesanan.

"Pesan apa, Dek?" Fauzan mengscan barcode restoran dan memperlihatkan aneka menu ke Fiyya.

"Nasi goreng Lembayung senja satu tidak pedas, telur mata sapi matang ya Mbak. Minumnya air mineral dingin. Terima kasih." Fiyya tersenyum ramah.

"Jauh-jauh ke kafe, belinya nasi goreng aja Dek. Nggak bosan menunya itu terus." Fauzan geleng kepala melihat pilihan menu adiknya.

Fiyya tersenyum tipis. "Itu kan makanan favorit Fiyya disini. Enak banget nasi gorengnya, Mas."

Pramusaji yang bernama Maya tersenyum sambil mencatat pesanan.

"Saya nasi putih dan sop iga. Minumnya jus sirsak. Take away satu ikan cangkalang Gayo ya, mbak."

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang