Rumah Fiyya
Fiyya memilih pulang dulu ke rumah untuk beristirahat. Sebenarnya tadi dia bisa saja menolak permintaan dr Z dan mencari alasan tidak punya kendaraan.
Tapi begitu dokter Z menanyakan alamat rumah Fiyya, niat penolakannya langsung buyar. Lelaki itu mengirimkan pesan. Supir pribadinya akan diutus untuk mengantar Fiyya ke stasiun.
Akhirnya Fiyya mau tidak mau menunggu di rumah. Selesai mandi, dia berbaring nyaman bersama bantal dan guling yang menemaninya sejak kecil. Tidak lupa dia memasang alarm ponsel dan mulai berdo'a sebelum tidur.
Semoga nanti ia bisa bangun tepat waktu, sehingga tidak terlambat menjemput ibunya si Bos.
Fiyya memiliki banyak nama panggilan baru untuk dokter Z. Sesuka hatinya dia memanggil lion, Zuppa soup, si Bos atau nama lainnya. Ada satu hal yang sering menyentil Fiyya, apabila dia teringat nasihat dokter Laila, guru mengajinya.
Tidak boleh memanggil seseorang dengan nama yang buruk. Sekarang dia sudah tidak memanggil dr Z dengan nama singa atau nama makanan. Fiyya menguap beberapa kali sebelum masuk ke alam mimpi.
Rasanya dia baru terlelap hitungan jam, ketika terdengar suara ibu membangunkannya. Berat rasanya Fiyya membuka mata.
"Fiy, sudah azan zuhur. Bangun. Supirnya dokter Zufar sudah nunggu di depan rumah."
Fiyya melenguh dan kelopak matanya masih betah terpejam. Selepas jaga malam di rumah sakit dua hari lalu, membuat badan Fiyya serasa rontok dan nyeri di seluruh persendian. Dia baru benar-benar terjaga ketika ponselnya berdering.
"Assalaamu'alaikum Fiyya, ini saya dokter Zufar. Kamu sudah siap berangkat, 'kan?"
Masih berada di separuh kesadaran, Fiyya salah mengira yang menelepon saat ini adalah Nara.
"Wa'alaikumsalam. Na, gue masih mengantuk. Bisa telepon lagi nanti? Terima kasih."
"Fiyya, ini saya dokter Z. Pak Asdi, driver saya sudah sampai di depan rumah kamu. Pasien poli saya tinggal 10 orang lagi. Kalau keburu, saya akan menyusul ke stasiun. Kamu bisa duluan kan, kesana?"
Suara bariton di seberang kali ini terdengar lembut dan justru membuat Fiyya terjaga.
"Ya sudah Fi, kalau kamu memang nggak bisa, nggak apa-apa. Saya minta ibu bisa pulang sendiri saja. Maaf saya jadi ganggu istirahat kamu."
Klik. Dokter Zufar menutup telepon dan membuat Fiyya merasa bersalah. Iya sih. Tadi dia memang terpaksa mengiyakan karena tidak enak hati.
Pintu kamar Fiyya diketuk dari luar dan terdengar suara ibu memanggil kembali.
"Fi, tamunya sudah nunggu diluar."
"Iya Bu, Fi sudah bangun. Ini mau mandi, terus berangkat."
Fiyya mengambil baju gamis biru laut, rok biru tua dan kerudung berwarna biru muda. Secepat kilat dia mandi, bahkan bebek saja kalah cepat mandinya dibandingkan Fiyya. Sat set sat set, yang penting bersih dan wangi.
***
Stasiun Gambir
Fiyya melanjutkan tidur di dalam mobil. Bisa tidur nyenyak dimana pun adalah anugerah terindah dalam hidup gadis itu. Mengingat setiap kali dia dinas malam di RS, adrenalinnya selalu 'on'. Tidak perlu minum segelas kafein pun, dia bisa terjaga sepanjang malam.
"Dokter Fiyya, kita sudah sampai di stasiun." Pak Asdi, supir pribadi dokter Zufar membangunkan tamunya.
Fiyya mengerjapkan mata. Meraba sudut bibirnya kalau-kalau basah. Syukurlah masih aman. Gadis itu tersenyum sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomanceSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...