Part 2. COINCIDENTALLY

12.1K 1.6K 138
                                    

Ruang Perawatan Anyelir

Gadis berhijab merah marun dengan baju jaga berwarna senada, duduk gelisah menanti salah satu temannya selesai follow up pasien.

Wajahnya berubah penuh harap, ketika mengetahui temannya yang bernama Yasmin, akhirnya keluar dari kamar jaga. Fiyya telah mengirim pesan sejak satu jam lalu, tapi belum dibaca Yasmin.

"Fi, kamu nungguin aku?"

Yasmin, salah satu dokter jaga yang berparas cantik dan bersikap ramah ke rekan kerja dan pasien. Terkecuali dengan Fiyya. Entah kenapa, mungkin karena Yasmin perfeksionis dan tahu kalau Fiyya kadang ceroboh.

"Maaf ganggu waktu kamu. Ada yang mau aku bicarain."

"Oke, tapi aku nggak bisa lama. Masih banyak kerjaan bangsal dan aku juga menunggu dokter Zufar visit."

Ah, dokter Z lagi. Misalkan dokter Z itu tampil bak pahlawan bertopeng seperti Zorro, itu terdengar lebih baik untuk Fiyya. Zorro kan ganteng maksimal dan baik hati.

Yasmin membuka pintu kamar dokter jaga dan duduk di depan Fiyya.

"Aku mau minta tolong bulan ini, bisa nggak tukar jadi asisten dokter Z. Aku ada proyek yang harus diselesaikan."

Wajah Fiyya memelas, berharap Yasmin mau berbaik hati.

"Proyek sosial lagi? Kamu nggak capek kerja rodi buat fakir miskin dan anak terlantar. Mereka itu sudah diurus sama negara lho, amanat Undang-Undang. Ngapain kamu yang repot. Lagipula itu sudah keputusan forum. Siapa yang terlambat datang, dia akan jadi asisten dr Z. Salah kamu sendiri. Siapa suruh telat." Ucapan Yasmin membuat hati Fiyya meradang.

Rasanya percuma Fiyya datang ke rumah sakit, di saat hari ini seharusnya dia libur jaga.

Fiyya akhirnya keluar dari kamar jaga dengan hati nelangsa. Dia masuk ke dalam lift dan berdiri membelakangi pintu. Dia menelepon Nara karena merasa sedih mendengar ucapan Yasmin. Bersyukur Nara langsung mengangkat telepon.

"Assalaamu'alaikum. Iya Fi, gimana jadinya? Yasmin mau tukar jadi asisten dokter Z?"

"Nggak, dia nggak mau. Padahal aku sudah janji sama Bu Rosita datang ke peresmian rumah belajarnya Kak Rezi." Sengaja Fiyya menekan tombol loudspeaker di ponselnya.

"Ya Allah, Fi. Kamu masih aja komitmen sama janjinya Kak Rezi. Kayak dia masih aja ada. Aku sampai merinding."

"Ini cita-cita Kak Rezi sebelum wafat, Na. Aku merasa bersalah baru bisa mewujudkan mimpinya tahun ini." Fiyya menempelkan kening ke dinding lift sambil memejamkan mata.

"Kalau kamu nggak dapat tukar, ya usah tukar sama aku aja. Aku sih nggak apa-apa, tinggal jelasin ke teman yang lain. Cuma kamu harus buat slidesnya dr Kafka karena bulan ini beliau membimbing koas."

Sebenarnya Fiyya tidak pandai membuat materi untuk bimbingan koas. Tapi dia seperti tidak punya pilihan lain.

"Nanti aku pikirin lagi deh, Na. Aku masih trauma tiap jaga sama dr Z, kena marah terus. Sampai aku tukar jaga kalau tahu DPJP IGDnya beliau." Fiyya melanjutkan sesi curhatnya.

Seseorang berdehem di belakang Fiyya. Dia buru-buru mematikan pengeras suara di layar ponsel dan membalikkan badan. Kedua mata Fiyya membelalak.

Oh My God.

Dia tidak sedang bermimpi, 'kan? Tepat di depannya dokter Zufar bersandar dekat pintu, memakai earbuds. Ah. Tidak mungkin beliau mendengar perkataan Fiyya barusan.

Rasanya Fiyya ingin cepat-cepat kabur dari tempat berkapsul itu. Tapi angka tiga menuju lantai dasar masih terlalu lama.

Tiba-tiba lift berguncang. Detak jantung Fiyya seperti berhenti sesaat. Dokter Z melepas earbuds di telinganya dan memandang ke arah Fiyya.

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang