Satu hari kemudian.
Zufar Pov
Di dalam ruang praktek, aku kembali membuka laci meja. Tempat dimana aku menyimpan buku harian milik Rezi. Sudah bertahun-tahun lalu aku tidak pernah lagi membacanya, hingga kini sebagian kertasnya telah berubah warna.
Isi buku itu banyak mengungkapkan perasaan Rezi pada Fiyya. Rezi memiliki nama panggilan kesayangan untuk Fiyya. Ia memanggilnya Ara. Sebenarnya aku sudah pernah membaca keseluruhan buku ini meskipun hanya sekilas.
Setelah bertahun-tahun, hatiku tidak pernah lagi terusik untuk membukanya. Namun semua berubah ketika dr Sultan, Kepala Bidang Pelayanan Medik memberitahu nama asisten baruku bulan ini.
Fiyya Zahrana. Nama yang muncul di surel, membuat memori lamaku memanggil kembali. Buku harian milik Rezi menjadi jawaban dari rasa keingintahuanku akan Fiyya.
Setelah sekian lama membiarkan buku itu tersimpan, akhirnya aku membuka kembali. Lembar demi lembar mulai dari halaman pertama. Berharap aku menemukan jawaban disana. Atas pertanyaan mengapa nama gadis itu kini terus berputar di benakku.
"A untuk Ara.
Untuk Fiyya Zahrana yang kupanggil Ara. Dia adalah perempuan yang selalu ingin kujaga seumur hidupku."Rezi menulis di setiap lembar buku ini, diawali dengan urutan abjad. Aku bisa membayangkan, saat ia menulis sudah dalam keadaan sakit kanker ganas tulang yang menyerangnya. Sedalam ini perasaan Rezi untuk Fiyya.
"B untuk Bahagia.
Aku selalu bahagia bila berada di dekat Ara.""C untuk Cinta.
Aku tidak pernah mengenal perempuan lain yang penuh cinta, seperti Ara."Tulisan Rezi menggambarkan seorang anak remaja yang tengah jatuh cinta pada kekasihnya. Kali ini aku melewati beberapa lembar buku sampai mataku terpaku pada foto yang menempel di lembaran untuk huruf abjad I.
"I untuk Ikhlas.
Aku berusaha ikhlas menerima penyakitku, meski harus kehilangan satu kakiku."Jemariku meraba foto Rezi bersama teman-temannya. Rezi terbaring di tempat tidur RS dengan satu kaki yang telah diamputasi hingga ke lutut. Wajah Rezi tampak getir berusaha menerima takdir. Di samping kanan-kiri ada sahabatnya yang selalu bersamanya di saat sulit. Rezi menulis keterangan di bawah foto itu.
"Dari kanan ke kiri. Faris, Yahya, aku dan Ara."
Bibirku mengulum senyum. Pantas saja aku tidak mengenali Fiyya saat pertama kali bertemu di RS ini. Sewaktu gadis itu masih kelas satu SMA, dia tidak setinggi seperti sekarang. Fiyya telah banyak berubah.
Aku melewati berlembar-lembar buku harian Rezi, hingga tiba di halaman terakhir. Huruf abjad terakhir yang ditulis Rezi adalah namaku.
Lembaran ini dulunya hanya kubaca sambil lalu, karena tidak pernah mengira akan bertemu lagi dengan Fiyya. Halaman terakhir yang Rezi tulis, bahkan lebih panjang dari tulisan di lembar sebelumnya.
"Z untuk (dr Zufar) :
Seseorang yang aku kagumi dan aku sayangi.Dok, aku tahu mungkin waktuku tidak lama lagi. Aku bisa merasakan dan yang kubisa lakukan saat ini hanyalah pasrah dan menerima takdir. Permintaan terakhirku, tolong jaga Ara untukku. Terima kasih dr Zufar yang baik hati."
Aku membaca berulang tulisan tangan Rezi yang terbilang rapi. Berulang kali aku berusaha meyakinkan diri. Perasaanku pada Fiyya adalah murni datang dari dalam hatiku. Bukan karena permintaan Rezi.
Aku mencintai Fiyya karena kebaikan hatinya kepada sesama. Dia juga menjadi partner yang merawat pasien-pasienku sepenuh hati. Aku tidak pernah berpikir secepat ini hatiku tertarik kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomansSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...