"Karena hidup tidak selalu
Berjalan sesuai yang kamu inginkan,
Mungkin bukan hari ini,Tapi bisa jadi di kemudian hari,
kamu akan mengerti,
kehendak Sang Maha Pencipta."***
Zufar mengecup lembut kening Fiyya. Ia sudah mandi sejak dini hari dan rambutnya masih basah. Ia tetap berangkat pagi, meskipun tahu jumlah pasien di bangsal masih dalam hitungan jari.
"Mas sudah bangun dari tadi?" Fiyya mengerjapkan mata dan mengambil ponsel untuk melihat jam berapa sekarang.
Sudah jam lima pagi dan Fiyya kesiangan. Rupanya dia benar-benar kelelahan setelah kemarin mereka bermain di pantai.
Malam harinya kembali keduanya mengukir kemesraan di balik selimut. Mereka sepakat untuk berikhtiar setiap hari, selagi Fiyya belum masuk menstruasi.
Begitulah kehidupan pasangan suami istri yang sedang di puncak kebahagiaan. Tidak terbukti ketakutan Fiyya setelah menikah karena tidak terjadi perang Baratayuda seperti pikirannya dulu.
Bukan berarti mereka tidak pernah bertengkar. Di awal pernikahan, sering mereka berselisih pendapat. Tapi lambat laun keduanya saling menyesuaikan diri dan salah satu mengalah.
Pertengkaran mereka tidak pernah bertahan lama. Bahkan hanya dalam hitungan jam, sudah berbaikan lagi. Jatuh cinta setelah menikah membuat semua perbedaan di antara mereka, menjadi tak bermakna. Seperti candaan mereka pagi ini.
"Mas, tadi sudah bangunin Fiy? Kok Fiyya jadi kesiangan kayak begini."
"Sudah Mas ciumin terus tapi Fiy nggak bangun. Mas nggak tega, jadi baru bangunin lagi."
"Yang tadi itu bangunin Fiyya? Yah, mana bisa bangun kalau caranya kayak gitu." Fiyya cemberut.
Zufar terkekeh. "Fiyya sekarang mandi dulu. 'Kan belum keramas." Kedua tangan Zufar mencubit pipi istrinya gemas.
"Fiyya lupa kalau belum mandi wajib. Minggir, Mas."
Fiyya menyingkirkan tangan Zufar dan langsung beranjak ke kamar mandi. Suasana disini masih terasa asing dan tiba-tiba saja Fiyya merindukan kamar di rumah lamanya.
Fiyya melihat handuk bersih dan pakaian gantinya telah digantung Zufar di balik pintu kamar mandi. Dia tersenyum karena perhatian kecil dari suaminya adalah hal manis yang berkesan di hati.
Selesai membasuh dan membersihkan diri, Fiyya segera berwudhu dan mengambil mukena untuk salat. Dia benar-benar malu karena hari ini bangun kesiangan.
"Dek, kita lupa belanja kemarin. Cuma ada telur di kulkas."
Wajah Zufar muncul dari balik pintu kamar, membawa beberapa butir telur dan wajan.
"Maaf Mas, kemarin Fiyya lupa bilang kalau mau mampir ke minimarket."
"Iya, Sayang. Nanti biar Mas yang belanja. Pagi ini kita makan telur dadar, nggak apa-apa ya?"
"Fiyya bantu masak ya." Fiyya baru selesai melipat mukena dan sajadah. Zufar menggeleng dan meminta istrinya menunggu di meja makan. Waktunya pak suami memanjakan istri terkasih.
Rumah dinas yang mereka tempati, jauh lebih kecil dari rumah milik Zufar. Tidak banyak perabotan di dalamnya. Hanya tempat tidur, lemari pakaian dan AC di kamar. Sofa, TV di ruang tamu. Serta satu meja makan dan dua kursi yang terbuat dari rotan.
Semua yang ada berusaha Fiyya syukuri. Yang penting dia bisa selalu dekat dengan sang suami. Keluar dari kamar, ternyata sarapan pagi sudah siap.
"Cepat banget Mas masaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomantizmSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...