Part 17. HIS TRUST

7.1K 1.1K 168
                                    

Fiyya Pov

Aku keluar dari ruang dr Sultan, setelah mendapat nasihat dari beliau. Ada berita miring di RS, mengenai hubunganku dengan dr Zufar dan dr Kafka.

Entah siapa yang mulai menyebarkan berita itu, tidak ada yang tahu. Tapi kabarnya kami terlibat cinta segitiga. Entah segitiga sama sisi atau segitiga siku-siku.

"Fiy, gimana? Dr Sultan nggak marah-marah, 'kan? Beliau wajahnya sangar, tapi sebenarnya baik lho. Ganteng juga." Nara terkikik.

"Beliau itu sudah menikah lho, Na." Aku berusaha mengingatkan Nara agar kembali ke jalan yang benar.

Nara masih duduk di sofa, tepat di seberang ruang dr Sultan. Beliau Kepala Bidang Pelayanan Medik.

"Wah Fiyya, Lo tuh memang selalu ketinggalan info. Dr Sultan itu duda. Istrinya meninggal setahun lalu karena sakit. Makanya aku jagain kamu disini, takutnya dr Sultan nanti kepincut sama kamu."

Aku terkejut karena baru tahu kalau istri dr Sultan sudah wafat. Terakhir kali bertemu, beliau masih sehat saat sesi kemoterapi karena penyakit kanker yang diderita.

"Istrinya dr Sultan sudah meninggal dunia?"

Nara berbisik. "Nggak banyak yang tahu. Karena meninggalnya bukan di rumah sakit. Mungkin juga atas permintaan istrinya, nggak mau dirawat lagi disini."

Sepertinya Nara tahu banyak tentang dr Sultan, ketimbang aku.

"Terus, Lo dinasihatin apa aja di dalam?"

"Intinya aku disuruh jaga pergaulan, nggak boleh dua-duaan sama dr Z untuk urusan di luar pekerjaan. Beliau minta aku berpegang teguh sama ajaran agama."

"Seriusan dr Sultan ngomong begitu? Kok beliau kayak Ustadz sih."

Tambah berbinar saja sinar kekaguman di wajah Nara.

"Aku malah berasa lagi dengar nasihat  Bapak-Bapak ke anaknya."

"Aduh Fiy, jangan cerita lagi. Nanti aku kepikiran terus sama beliau."

Pintu ruang dr Sultan tiba-tiba terbuka dan membuat kami terkejut. "Lho, kok dr Fiyya masih disini? Belum pulang? dr Nara nungguin dr Fiyya?"

Terdengar suara bariton yang karismatik khas dr Sultan. Aku langsung melirik ke arah Nara yang bengong.

"Sudah mau pulang kok, Dok. Mari Dokter, pamit dulu." Aku langsung menarik tangan Nara sebelum dia jatuh pingsan.

"Fiy, berdamage banget suaranya dr Sultan. Duda memang selalu terdepan." Nara mengikuti iklan sepeda motor.

"Sadar, woi." Aku mengibaskan telapak tanganku di depan wajah Nara. Dia pun lantas beristighfar.

"Iya maaf. Aku memang sudah lama kagum sama beliau."

Nara mesem-mesem tidak jelas.

"Memangnya siapa sih yang nggak kamu kagumi, Na? Dr Z, dr K dan sekarang dr S." Aku menahan tawa.

"Gue kan masih jomblo, Fiy. Masih mencari yang terbaik. Lo enak. Udah ada yang naksir, ngelamar. Sebentar lagi akad deh." Nara langsung bersenandung lagu Akad - Payung Teduh.

Kedua netraku membola ke arah Nara, sambil memberi kode untuk menjaga rahasia. Hanya dr Laila dan Nara yang aku beritahu.

Nara lebih heboh dari yang kuduga. Dia berjanji tidak akan memberitahu ke siapa pun. Termasuk juga alasan kenapa aku dipanggil pagi ini oleh dr Sultan.

"Fiy, mau nggak temani aku nengokin dr Kafka. Aku sudah ajak teman-teman yang lain, tapi masih belum respon. Aku masih asisten dr K. Nggak enak kalau nggak jenguk ke rumahnya."

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang