Part 15. FALLING FOR HER

7.3K 1.1K 180
                                    

Zufar Pov

Kafka sakit. Aku mendengar berita dari dr Sultan, Kabid Yanmed (Pelayanan Medik) tadi pagi. Tapi dia tidak mau dirawat di RS dan memilih dirawat di rumah.

Semalam info dari Ners Yuni -perawat ruang President Suite- Kafka masih menunggu Laras yang sudah dipindah dari kamar operasi ke ruang perawatan biasa.

Tiba-tiba saja Kafka jatuh pingsan di kamar Laras dan dibawa ke IGD. Setelah itu dr Sultan memberitahukan kalau Kafka cuti sakit selama satu minggu.

Jujur kalau dibilang kesal, aku memang kesal dengan tingkah Kafka yang akhir-akhir ini menyebalkan. Tapi bagaimanapun kami berdua pernah merasakan pahit getir menjadi residen.
Sewaktu menempuh pendidikan dokter Spesialis.

Terlepas dari apa pun yang terjadi, Kafka adalah sahabatku. Meski ada rahasia yang selama ini ia sembunyikan dariku. Aku berniat menjenguknya setelah selesai praktek poli sore nanti.

Pagi ini aku masih berada di rumah. Berdiri di depan cermin dan memastikan penampilanku rapi dan wangi.

Kenapa akhir-akhir ini aku jadi sering memastikan penampilanku rapi, sebelum berangkat ke RS? Apa karena sekarang aku sudah melibatkan rasa sejak bertemu Fiyya.

Apa seperti ini efek jatuh cinta kepada seseorang? Duh, kenapa aku seperti ABG yang baru kasmaran. Kemana saja kamu Z, selama ini? Ingin rasanya aku membenturkan kepala berulang kali di atas bantal.

"Bang, ayo sarapan."

Terdengar suara bunda dari balik pintu kamar.

"Iya, Bun. Abang masih pakai baju. Nanti menyusul ke meja makan."

Berulang kali aku memilih kemeja dari dalam lemari. Lebih cocok yang mana ya? Biru, putih polos, abu-abu atau hijau.

"Mas kayaknya bagus, kalau pakai kemeja warna biru. Fiyya soalnya juga suka warna biru."

Seperti ada suara Fiyya bergema di sekelilingku. Bahkan semalam hampir saja aku bermimpi bertemu Fiyya memakai gamis berwarna biru langit.
Beruntung wajah Fiyya hanya terlihat samar di mimpiku. Seperti inikah ujian cinta? Belum lagi lamaranku diterima, aku sudah memikirkan Fiyya setiap hari.

Aku keluar dari kamar setelah menyisir rambut dan merapikan kemeja. Aku tidak jadi mengganti kemejaku dengan warna biru dan akhirnya memilih kemeja putih. Begini juga sudah keren.

"Pagi Ayah, Bunda."

Aku menarik kursi dan menikmati sarapan pagi yang disiapkan bunda. Sudah ada kangkung balacan, ayam betutu dari Bali dan potongan telur rebus, menjadi hidangan lezat di atas meja.

"Tambah ganteng aja nih, anak Bunda." Bunda tersenyum melirik ke arahku.

"Gaya sisirannya ganti ya, Bang. Biasanya belah ke kanan." Ayah juga ikut-ikutan. Ini mereka berdua kenapa sih.

Bunda tertawa mendengar komentar ayah yang biasanya lebih banyak diam.

"Perasaan biasa aja kok, Yah. Tiap hari juga Abang kayak begini." Aku menanggapi santai.

Bunda mengambilkan nasi untuk ayah dan untukku.

"Abang ambil sendiri aja, Bun. Nanti khawatir nggak habis."

Bunda berdehem. Kami mulai sarapan setelah berdo'a bersama. Baru beberapa suapan nasi masuk ke bibirku, tiba-tiba Bunda bertanya.

"Gimana Bang, kabarnya Fiyya?"

Alhamdulillah aku sudah selesai menelan, karena kalau tidak, aku bisa tersedak.

"Fiyya sehat, Bun. Masih jadi asisten Zufar bulan ini."

"Bukan itu yang Bunda maksud, Bang. Maksudnya apa sudah ada kabar baik antara kalian berdua?" Bunda memandangku penuh harap.

Aku tersenyum tanpa mampu menjawab. Tanganku beralih mengambil gelas dan menuang air putih dari teko.

"Maksud Bunda kamu. Abang sudah diterima lamarannya apa belum, sama Fiyya?" Kali ini ayah memperjelas pertanyaan bunda.

Fix, air putih yang sedang kuminum jadi sedikit masuk ke hidung. Aku batuk-batuk kecil lantaran terkejut mendengar pertanyaan ayah.

Aku sudah membicarakan keinginan melamar Fiyya. Waktu itu ayah dan ibu tidak berkomentar apapun, kecuali wajah ibu yang berbinar bahagia mendengar rencanaku.

"Fiyya masih minta waktu untuk shalat Istikharah, Bun." Aku menjawab lalu kembali melanjutkan makan.

"Jangan-jangan Fiyya salah paham sama Abang dan Laras. Mamanya Laras soalnya beberapa hari lalu telepon Bunda, nanyain Abang. Laras katanya operasi usus buntu di RS tempat Abang kerja. Tapi Abang belum nengokin dia. Bunda bilang Abang lagi sibuk sama pasien."

"Papanya Laras juga tanya ke ayah, hubungan kalian berdua seperti apa. Setahu ayah, Abang dan Laras 'kan cuma berteman. Tapi Ayah nggak tahu juga, selama ini Abang sudah kasih harapan apa ke Laras. Jangan-jangan kasih harapan palsu."

"Semoga anak kita yang ganteng ini, nggak kayak gitu Yah."

Ayah dan bunda kompak membombardir aku dengan pernyataan seputar Laras.

Aku meminum beberapa teguk lagi. Nafsu makanku tiba-tiba menurun, kalau sudah membahas soal Laras.

Seperti janjiku kepada diri sendiri dan juga kepada Fiyya. Hari ini aku akan menjenguk Laras untuk menegaskan kembali batasan hubungan kami.

Bersyukur kalau nanti aku juga bisa bertemu dengan kedua orangtua Laras dan menjelaskan semuanya. Aku berharap Laras bisa move on dan bertemu lelaki lain yang lebih baik dari diriku.

"Abang akan tegaskan ke Laras dan orangtuanya, hari ini."

"Bunda ikut ya, Bang."

Ayah menatap tajam ke arah Bunda untuk tidak ikut-ikutan.

"Abang akan selesaikan masalah ini sendiri, Bun. Ada kesalahan Abang juga karena membiarkan hubungan kami berlarut-larut sampai sekarang. Abang nggak mau menyakiti hati Fiyya lagi."

Aku mengakui kesalahan karena membangun zona nyaman dengan Laras. Pertemanan kami sudah melanggar batas teritori yang seharusnya tidak melibatkan rasa.

Sekarang Allah sedang menegurku, dengan sikap Fiyya yang tidak langsung menerima lamaranku. Keraguan Fiyya disebabkan karena sikapku sendiri.

"Bicarakan semua secara baik-baik dengan perkataan yang baik. Jangan sampai banyak pihak yang tersakiti karena salah sangka sama Abang."

Mungkinkah semalam saat aku pergi ke rumah Fiyya, terjadi pembicaraan khusus antara kedua orangtuaku.

"Abang harus mulai menata hati dari sekarang. Supaya tidak ada kecewa di kemudian hari, karena seorang perempuan yang dilamar memiliki hak untuk menolak. Abang sudah siap apa belum, kalau misalnya Fiyya menolak? Kita 'kan tidak pernah tahu jodohnya Fiyya siapa."

Ucapan ayah kembali menampar hatiku dan terasa menyakitkan.

Jujur, aku belum berpikir ke arah sana dan tidak mau mendahului takdir. Tapi suka atau tidak suka, aku harus mengakui perkataan ayah. Perkataan beliau menempatkan aku untuk kembali berpijak ke bumi. Setelah hatiku yang berbunga-bunga sesaat  terbang ke langit cinta kepada seorang gadis yang belum tentu menjadi istriku.

Meski aku merasa tertohok dengan nasihat ayah, tapi tidak mengapa. Ini akan menjadi peringatan bagiku untuk menghilangkan bayangan Fiyya yang memenuhi benakku.

Yang aku perlukan saat ini adalah bersabar dan berdo'a untuk kami berdua. Yang terbaik akan datang dan itu datangnya dari Sang Pemilik Semesta Cinta.

***


DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang