Part 16. HIS DECISION

6.9K 1K 145
                                    

Jam 09.00

Zufar Pov

"Assalaamu'alaikum.
Selamat pagi dr Zufar. Maaf Dok, hari ini Fiyya izin tidak masuk. Fiyya sudah izin ke dr Sultan dan dr Toriq. Terima kasih. Hormat saya, dr Fiyya."

Ada kekecewaan di hatiku membaca pesan dari Fiyya. Isinya formal sekali, seolah hubungan kami sebatas guru dan murid. Aku menerima pesan itu, setelah sampai di RS. Moodku langsung terjun bebas.

Tidak sabar mengetik pesan balasan, aku akhirnya menelepon Fiyya. Aku lihat statusnya sedang online. Lho, kok teleponku malah direject. Kenapa sih dia.

Fiyya is typhing.

"Maaf Dok, Fiyya nggak bisa angkat telepon dari Dokter. Fiyya mau jaga hati dari sekarang."

Tiba-tiba aku tersenyum geli membaca pesan Fiyya.

"Lho memangnya kenapa? Suara saya bisa membuat hati kamu sakit, ya?"

Bisa-bisanya aku mengirim pesan balasan ke Fiyya seperti anak ABG alay.

"Maaf Dok. Mulai sekarang kita harus menjaga hati, jaga sikap supaya nggak jadi penyakit hati. Kalau Dokter begini terus, ya lama-lama bikin virus merah jambu."

Aku jadi tersadar dan malu. Sepertinya memang aku yang harus diingatkan untuk menahan diri.

"Lalu cara saya komunikasi ke kamu, cuma boleh lewat pesan? Nggak boleh telepon?"

"Boleh telepon dan pasti kita juga akan ketemu di RS 'kan, Dok. Tapi sebatas pekerjaan dan hubungan profesional saja."

Aku tersenyum  membaca betapa gesitnya Fiyya menulis pesan. Sampai tidak ada typo di dalamnya. Seseorang menepuk pundakku.

"Z, kenapa senyum-senyum sendiri. Lagi happy?" Dokter Firdi, teman sejawatku di bagian Bedah menyapa.

"Biasa saja kok, Fir" Aku menyembunyikan perasaan bahagia yang meletup di hatiku.

"Kayaknya muka Lo nunjukkin kalau lagi jatuh cinta. Buruan tuh dihalalin, daripada keburu ditikung sama orang lain."

"Maksud Lo gimana, Fir?"

"Lo nggak tahu kejadian kemarin di kamar President Suite? Pasiennya dr Nurwinda yang post appendiktomi."

"Saudaranya Kafka?" Aku menebak dan berjalan menyejajarkan langkah dengan Firdi.

"Iya, kayaknya saudaranya Kafka. Ada insiden semalam, pasiennya tiba-tiba ngamuk pas Kafka lagi nemenin di kamar. Gue lagi visit di kamar sebelah. Sempat dengar ribut-ribut terus, nggak lama Kafka keluar kamar sudah berdarah mukanya. Katanya dilempar vas bunga sama pasien. RS lagi usut kejadian itu, makanya Kafka dicutikan dulu."

"Beneran, Fir?"

"Yo'i. Intinya sih kayak gitu. Jadi ramai tuh semalam. Ada nama Lo juga disebut sama pasiennya, ada nama Fiyya juga. Jadi timbul gosip antara kalian berdua. Tadi pagi gue ketemu Fiyya di depan ruangan dr Sultan. Semoga dia nggak kena masalah."

Dokter Sultan? Dokter Sultan adalah bosku dan juga bos Fiyya secara struktural. Beliau mengepalai bidang Pelayanan Medik.

Firdi kerap menjadi teman diskusi, bila kami merawat pasien bersama. Dia pun sering konsul kepadaku untuk toleransi operasi pasiennya.

Sebegitu jelaskah perasaanku tampak ke Fiyya? Pantas saja tadi pagi dia tidak mau mengangkat telepon. Tiba-tiba pikiranku beralih ke Fiyya.

Firdi pergi, meninggalkan sebongkah perasaan bersalah di dadaku. Aku harus segera bertemu Laras dan kedua orangtuanya, agar masalah ini tidak berlarut-larut.

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang