Seperti baru beberapa menit lalu Fiyya dan Zufar berpamitan di bandara. Kedua orangtua Zufar dan orangtua Fiyya ikut mengantar. Tidak terkecuali Mas Fauzan dan istrinya.Fiyya pergi keluar pulau, mengikuti tugas Zufar ke daerah terpencil. Keduanya berdo'a sebelum perjalanan dan Fiyya hanya bisa memejamkan mata saat pesawat mulai take off.
Fiyya tidak menyukai perjalanan udara. Sejujurnya tidak hanya udara, bahkan perjalanan darat ke luar pulau saja dia tidak terlalu nyaman. Sejak dulu, dia hanyalah anak rumahan yang saat kuliah hanya memiliki rute kampus-masjid kampus- perpustakaan- kantin-tempat fotokopi-pulang.
Zufar pun tahu istrinya tidak suka travelling, tetapi ia berusaha meyakinkan hati Fiyya bahwa ini seperti liburan bulan madu mereka. Tiga bulan mendedikasikan ilmu untuk masyarakat yang membutuhkan, tidaklah lama.
Untuk mengurangi ketegangan selama di pesawat, Fiyya mengunyah permen dan terus saja berdzikir. Zufar tersenyum sambil terus menggenggam tangan Fiyya. Jemari tangan istrinya nyaris hampir sama dinginnya seperti es.
Ia melihat tiga bungkus permen yang ada di pangkuan Fiyya. Rupanya Fiyya benar-benar tegang. Pesawat sudah berada di antara gumpalan awan yang gelap. Sekarang masih masuk musim penghujan dan beberapa kali mereka merasakan guncangan atau turbulensi.
Fiyya berulang kali beristighfar. Bagian yang tidak mengenakkan adalah turbulensi. Tapi tadi Zufar sudah sempat menasihatinya. Turbulensi itu seperti ujian dalam hidup. Ketika kita bisa menghadapi dengan berserah pada Allah, maka ujian itu akan bisa dilewati dengan baik.
Tiba-tiba saja Fiyya merasa mengantuk. Semalam sebelum mereka berangkat, Fiyya sibuk memerika ulang koper yang akan mereka bawa. Tidak terbiasa bepergian jauh, membuat Fiyya lebih waspada. Barangkali ada barang yang masih tertinggal di rumah.
Meskipun tahu RS yang akan ditempati dr Z cukup lengkap, Fiyya dan suaminya tetap berinisiatif membawa obat-obatan sendiri. Beberapa hari sebelumnya, mereka pergi ke apotek untuk melengkapi kotak obat yang termasuk di dalamnya ada perlengkapan P3K dan obat emergensi.
Baru sejenak memejamkan mata dan tidur pulas di bahu Zufar, suara awak kabin senior mengabarkan. Sebentar lagi pesawat akan segera mendarat. Rupanya perjalanan selama 55 menit terasa cukup singkat bila ditempuh melalui udara.
"Sayang, kita sudah hampir sampai."
Perlahan Zufar membangunkan Fiyya. Keduanya naik kelas bisnis karena Zufar ingin istrinya merasa nyaman. Padahal sejak awal memesan tiket pesawat, Fiyya mengatakan tidak apa-apa jika dapat bangku di kelas ekonomi.
Zufar mengatakan, semua akomodasi sudah dibiayai oleh RS. Fiyya hanya bisa menurut dan dia berusaha membuka kelopak matanya yang masih terasa berat.
Menjelang landing, pesawat kembali mengalami guncangan kecil. Fiyya yang semula sudah membuka mata, kembali memejamkan netranya. Terkadang Allah memberi ujian berupa hal yang tidak dia sukai. Boleh jadi hal yang tidak dia sukai, justru baik di sisi Allah SWT.
Beberapa menit kemudian, pesawat mendarat dengan sempurna. Meski landasan tampak licin karena di luar hujan mulai turun dengan deras. Fiyya merapatkan jaket dan bersiap untuk turun bersama Zufar.
Ada pantai yang indah, tidak jauh dari lokasi rumah dinas. Mobil yang menjemput mereka, melewati pantai itu. Memang benar-benar indah, meski Fiyya hanya bisa memandang dari balik kaca mobil.
Fiyya sudah mencatat tempat itu sebagai salah satu destinasi kunjungannya. Tapi sepertinya dia tidak mungkin pergi kesana hari ini, meskipun sudah bersemangat sekali. Sewaktu kecil, kedua orangtuanya sering mengajak ke pantai. Hanya untuk berenang di tepian atau bermain istana pasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomansaSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...