Fiyya Pov
Alarm ponselku berbunyi jam tiga dini hari. Ada tahajud call dari dokter Laila yang kerap aku panggil bunda. Dokter Laila adalah dokter Spesialis Anak di RS tempatku bekerja. Beliau guru mengajiku dan tidak jauh usianya dengan ibuku.
Beliau memiliki dua anak yang sedang kuliah di luar negeri. Mas Hikam mengambil S2 teknik lingkungan di Jepang dan Mas Hafidz lulus kuliah teknik mesin, diterima bekerja di Jerman.
Berbicara mengenai pertemuanku kemarin dengan dr Z dan dr K, sempat membuatku terkejut. Tapi aku berusaha tenang. Kalau mungkin aku secantik Shinta atau sepintar Yasmin, mungkin aku sudah baper berlebihan ketika duo dokter populer itu mendekatiku.
Pasti awalnya ada rasa senang dan seolah ada bunga bermekaran di hati. Apakah aku seistimewa itu, sampai dr K mengatakan kalau ingin mengenalku lebih dekat. Ditambah lagi tidak ada angin dan hujan, dr Z juga menunjukkan perhatian khusus kepadaku. Seolah beliau keberatan aku dekat dengan lelaki lain.
Semalam setelah aku bercerita mengenai sikap dokter K dan dokter Z kepada Bunda Laila yang menanyakan isi hatiku.
"Fiyya apakah tahun ini sudah siap menikah?"
Duh, jantungku seperti berpindah tempat mendengar pertanyaan bunda Laila.
"Kalau keinginan sudah ada, Bun. Tapi kalau siap sepertinya belum. Bekal ilmu Fiyya untuk berumah tangga, rasanya belum cukup. Fiyya juga belum banyak belajar cara mendidik anak dan ilmu menjadi orangtua."
Jujur aku mengungkapkan semua, kepada dokter Laila.
"Kalau sudah ada lelaki yang datang untuk mengajak Fiyya menikah, berarti Fiyya sudah mulai harus mempersiapkan diri. Fiyya harus banyak mendekatkan diri sama Allah. Cari ilmu sebanyak-banyaknya. Karena kelak Fiyya dan suami akan jadi orangtua. Tahun lalu, Fiyya sudah pernah ikut kajian pra nikah Keluarga Sakinah, 'kan?"
"Fiyya sudah pernah ikut kajiannya, Bun. Tapi waktu itu tidak terlalu fokus."
"Iya, nggak apa-apa Fiy. Nanti Bunda akan bantu fasilitasi lagi supaya Fiyya bisa ikut term bulan depan. Tahun ini kajiannya kelas virtual, jadi lebih fleksibel. Insya Allah Fiyya ikuti saat weekend."
Sebelum menutup percakapan, dokter Laila kembali memberiku nasihat.
"Bunda hanya bisa mendo'akan agar Fiyya diberikan segala sesuatu yang terbaik dari Allah SWT. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri. Harus ada ikhtiar dari diri Fiyya untuk meningkatkan keimanan dan kapasitas diri. Jodoh itu adalah cerminan kita. Jika kita menjadi baik, maka Allah akan mempertemukan dengan lelaki yang baik pula."
Air mataku menitik, mendengarkan tausiah dokter Laila. Aku tahu beliau tidak ingin aku salah langkah. Sebenarnya bukan satu kali ini ada pria yang berusaha mendekatiku. Setelah aku wisuda, setahun lalu ada teman kakakku ingin berkenalan denganku. Namanya Mas Wisnu.
Ibarat kata, hampir setiap malam minggu ia selalu datang ke rumah. Bisa dibilang, wajahnya cukup keren dan aku membuka pintu hati dengan semua kesederhanaan yang ia bawa. Tapi ketika Mas Fauzan, kakakku menanyakan mau dibawa kemana hubungan kami berdua. Mas Wisnu tidak bisa memberikan kepastian.
Ia mengatakan masih menunggu promosi jabatan di kantornya dan ingin membeli rumah dulu untuk tempat tinggal setelah ia menikah. Saat itu aku terlalu euforia karena merasa senang ada seseorang yang memperhatikan. Kami beberapa kali diam-diam pergi keluar untuk makan malam dan kadang menonton bioskop berdua.
Akhirnya kami ketahuan karena tanpa sengaja Mas Fauzan bertemu di Mall. Mas Wisnu sampai dipanggil bapak ke rumah untuk menanyakan keseriusannya. Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan karena jawaban Mas Wisnu masih sama. Ia belum siap menikah, lalu bapak meminta kami berpisah secara baik-baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomanceSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...