Zufar memperhatikan wajah Fiyya yang masih sembab, setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Di dalam mobil, ia berusaha menghibur sambil mengusap punggung Fiyya.
"Jangan kelamaan sedihnya, Sayang. Kita sudah hidup mandiri mulai hari ini. Mas sudah nggak sabar ingin hidup satu atap bareng Fiyya." Diciumnya jemari tangan Fiyya, sebelum ia mulai menyetir mobil.
Ia menyadari kalau Fiyya, masih butuh waktu untuk merasa nyaman. Akan jadi lebih mudah bila tidak ada orang lain di antara mereka. Hanya ada mereka berdua, dimana Zufar bisa menjadi dirinya sendiri dan begitu pula dengan istrinya.
Zufar mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah orangtuanya. Tanpa ia rencanakan, rumah yang dibelinya bertahun-tahun lalu, memiliki lokasi yang tidak jauh dengan rumah ayah mertuanya. Semoga ini bisa mengobati kesedihan istrinya yang merupakan anak bungsu.
Untuk interior, Zufar sudah lebih dulu memilih barang-barang dan mendesain isi rumahnya. Ia hanya menginap disana, saat weekend atau bila terlalu letih dan pulang malam setelah visit pasien. Selebihnya, ia lebih banyak istirahat di rumah ayah dan bunda.
Zufar mengurangi kecepatan dan berhenti sejenak di belakang lampu merah. Jemarinya kini beralih mengusap lembut pipi istrinya.
"Mas sudah tahu sejak awal, kalau Fiyya perempuan hebat yang akan menjadi istri dan ibu dari anak-anak Mas."
Jemari Zufar bergerak perlahan, berusaha menghilangkan jejak air mata di pipi Fiyya.
"Mas, nanti kalau ketemu Bunda terus ditanya malam pertama kita. Fiyya jawab apa?" Fiyya menoleh ke arah Zufar dan menarik kaus di lengan suaminya.
Tawa Zufar pecah seketika. Setelah menangis karena pamitan, rupanya Fiyya juga sedih karena memikirkan hal yang lain.
"Ya nggak gimana-gimana, Sayang. Bilang aja semalam kecapekan, jadi belum sempat ngapa-ngapain Bun. Tapi paling nggak sudah mulai nyicil, cuma belum lunas."
Jawaban Zufar disambut dengan pukulan ringan Fiyya di bahu pria itu.
"Dulu Mas Fauzan dan Mbak Sarah juga gitu, Mas. Malam habis nikah nginap di rumah, besok paginya ibu nanyain. Fiy takut nanti Bunda nanya juga."
Zufar mencubit gemas pipi Fiyya, sebelum mulai mengemudikan mobil kembali. Lampu lalu lintas sudah berubah berwarna hijau.
"Fiyya tenang aja, nanti Mas yang jawab kalau Bunda kepo."
"Beneran ya, Mas. Fiyya mau mode silent di depan bunda."
Zufar berdehem. "Mode pasrah aja Sayang, buat nanti malam." Zufar menggoda Fiyya.
"Issh." Lengan kokoh Zufar kembali tidak lolos dari cubitan istrinya.
***
Rumah orangtua Zufar.
"Masya Allah, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sini masuk, Sayang."
Bunda sudah menyambut di depan teras rumah dan memeluk menantunya. Fiyya balas memeluk bunda. Ada ayah mertuanya yang juga berdiri di samping bunda.
Ayah ikut merangkul Zufar. Duo pria tampan ini benar-benar mirip, seperti kata bunda.
"Gimana semalam, Bang? Sudah berhasil apa belum? Cucu Bunda sudah otw 'kan?"
Tuh 'kan. Wajah Fiyya tiba-tiba berubah pucat. Dia memberi kode ke arah suaminya yang balas tersenyum geli.
"Still in process, Bun. Abang dan Fiyya sedang menikmati pacaran setelah menikah. Cuma Abang dan Fiyya aja yang tahu gimana rasanya. Ya kan, Dek?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomanceSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...