Part 25. THE RAINY RHAPSODY

6.6K 791 67
                                    

Rutinitas pagi hari kini tidak sama lagi bagi Zufar dan Fiyya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua di rumah. Musim hujan yang sering datang di sore hari, membuat keduanya urung mencari destinasi tempat berbulan madu.

Setelah menikah Zufar sering mengajak Fiyya jalan pagi keluar perumahan. Keduanya menyusuri jalan setapak di perkampungan. Ada danau buatan sekitar dua kilometer dari tempat tinggal mereka.

Bila cuaca pagi bersahabat, keduanya jalan dengan berbekal jaket, minuman dan makanan ringan yang dibawa di tas punggung kecil. Duduk di tepi danau sambil menikmati pemandangan bebek yang sedang bercengkrama di danau.

Namun bila cuaca mendung dan tiba-tiba turun hujan, mereka memilih untuk menghabiskan waktu di rumah. Memasak atau sekedar duduk di teras belakang. Bersantai menikmati pemandangan kala hujan.

Mendengarkan suara katak yang bersahutan di antara rerumputan. Berbincang mengenai cerita masa kecil, masa remaja dan juga merancang masa depan bersama.

Seperti hari ini, rintik hujan kembali menyapa pagi. Zufar dan Fiyya menikmati dua cangkir teh hangat di teras belakang. Zufar sengaja membeli dan menyiapkan bangku dan meja yang terbuat dari kayu jati Jepara.

"Dek, semalam mimpi apa?"

Jari kaki Zufar bertaut dengan jari kaki Fiyya di bawah meja. Zufar mulai terbiasa mendengar Fiyya yang kadang mengigau dalam tidur. Tadi pagi ada yang berbeda. Tidak biasanya Fiyya terbangun karena mimpi dan setelahnya menangis.

"Mimpiin Nara. Kemarin sempat bertengkar sama Nara."

Zufar tersenyum mendengarkan cerita Fiyya sambil mengusap pipi istrinya. Ia memiliki hobi baru mengobrol dengan Fiyya di pagi hari dan memandangi wajah cantik sang bidadari pujaan hati.

"Kayaknya pas Adek kemarin telepon Nara dari rumah bunda, masih baik-baik aja."

"Iya, itu masih baik-baik aja Mas. Terus nggak lama setelah itu, Nara kirim pesan. Katanya dia masih mau perjuangin Fiy supaya bisa tetap kerja disana. Tapi Fiy nggak mau karena suasana disana sudah nggak nyaman. Apalagi setelah Fiyya digosipin macam-macam."

Fiyya menahan diri untuk tidak menangis. Beberapa hari ini dia lebih sensitif, apa mungkin mendekat siklus haidnya.

"Mungkin maksud Nara baik, Dek. Dia nggak mau Adek dengerin gosip yang nggak benar. Selama ini Adek sudah bekerja sesuai SOP RS dan juga melayani pasien dengan baik. Lagipula, meskipun nantinya Adek sudah tidak bekerja disana, Adek tetap istri Mas yang bebas datang ketemu Mas kapan aja di RS."

Mendung di wajah Fiyya perlahan mulai berganti cerah. Suaminya selalu menjadi support system terbaik untuk dirinya.

"Mas nyesal nggak, nikah sama Fiyya dan tahu kayak begini aslinya." Fiyya malu-malu memandang ke arah suaminya.

"Suami istri itu seperti dua helai pakaian yang saling melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing."
Zufar memandang penuh cinta ke arah Fiyya.

"Sini duduk di samping Mas. Sambil kita dengar lagu romantis. Mas ambil earphone dulu di kamar."

Fiyya mengangguk. Ada perasaan tidak rela berjauhan dengan suaminya, barang sedetik pun. Apakah ini pertanda dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada suaminya?

Fiyya membuka pesan dari Nara. Kalau sedang berada di sebelah suami, sebisa mungkin dia mengurangi membuka gawai. Dia tidak ingin bulan madu mereka di rumah, terdistraksi karena gadget.

Nara bercerita tentang pertemuannya dengan dr Sultan. Gara-gara permintaan cutinya tidak dikabulkan, Nara kesal dan bertekad tidak mau bicara dengan dr Sultan.

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang