"Aku mencintaimu sangat,
Merindukanmu selalu,
Setiap saat,
Setiap waktu."***
RS Permata Raya
Fiyya berusaha menguatkan hati untuk tidak terus menerus menitikkan air mata. Sepanjang perjalanan di dalam pesawat, dia tidak putus berdzikir dan berdo'a.
Tidak sedikit pun dia melepaskan genggaman tangan di antara jemari Zufar. Sambil memejamkan mata, dia merasakan denyut nadi suaminya. Ujung jarinya bertemu dengan pembuluh darah di pergelangan tangan kiri Zufar. Tangan kanan Zufar dalam kondisi terpasang bidai karena patah.
Semua kecemasan karena turbulensi sepanjang perjalanan, tidak lagi dihiraukan Fiyya. Cukup seperti ini, merasakan suaminya tetap ada dan hidup di depannya. Dia hanya ingin cepat sampai agar suaminya segera mendapatkan penanganan maksimal.
Semula Fiyya ragu untuk memberitahu bunda dan ayah mertuanya. Juga memberi kabar kedua orangtuanya. Dia sedang memilih kata-kata terbaik untuk menyampaikan kabar yang terburuk. Tidak hanya Fiyya yang terluka, tapi juga kedua orangtua Zufar.
Sebelum masuk ke dalam pesawat, dokter Laila menelepon untuk menguatkan hati Fiyya. Nara juga dan hampir semua menghubungi Fiyya. Banyak orang-orang baik di sekelilingnya, berusaha menghibur dan meyakinkan bahwa Allah selalu menyertai Fiyya dan Zufar.
Namun Fiyya sendiri, masih memiliki ruang kosong di dalam hatinya. Dia perlu waktu untuk menerima semua ini. Dia perlu Zufar untuk selalu berada di dekatnya. Lagi-lagi air mata Fiyya tumpah, sekuat apa pun dia mencoba menyembunyikan lara.
"Fiy, ini." Dokter Sultan mengulurkan tissue untuk menghapus air mata Fiyya.
Fiyya pura-pura mengabaikan semua yang ada di sekitarnya. Dia hanya tidak ingin orang lain salah paham, mengira bahwa dr S ada perhatian lebih kepadanya.
Bertahanlah, Mas. Bertahan untuk aku, untuk ayah, bunda dan semua orang yang mencintai Mas Zufar. Fiyya mengusap punggung tangan Zufar yang masih teraba hangat. Seperti kebiasaan yang sering dilakukan suaminya kepada Fiyya.
Ingin rasanya dia bermanja-manja dan menyandarkan kepala di bahu Zufar. Tanpa harus malu menunjukkan betapa dia sangat mencintai suaminya. Tapi saat ini kondisinya tidak memungkinkan.
Suara Co-pilot terdengar memberi pengumuman. Sebentar lagi mereka akan sampai di hanggar pesawat milik keluarga dr Sultan. Dalam hitungan menit, pesawat mendarat dan semua bersiap mentransfer Zufar ke ambulans RS yang dituju.
"Dokter Fiyya nanti duduk di depan saja, di samping supir ambulans. Kami yang dampingi dr Zufar akan stay di belakang." Dr Hans memberi arahan.
Fiyya mengangguk, sekalipun hatinya berkata lain. Ia tidak ingin melepaskan genggaman tangan suaminya. Namun dia tidak memiliki lagi daya untuk berdebat.
Saat ini dia hanya ingin suaminya segera ditangani untuk CT Scan kepala. Bila yang dikatakan dr Andri benar ada perdarahan di kepala, maka tim dokter Bedah Saraf akan melakukan operasi cito.
Suara sirine ambulance adalah hal yang terbiasa Fiyya dengar semasa dia bertugas di RS. Entah mengapa kini seperti suara yang memilukan untuknya. Pesawat mendarat sempurna dan tim bergerak cepat memindahkan Zufar.
Ambulance berusaha membuka jalan, meskipun tidak sedikit mobil enggan untuk menepi. Rasanya Fiyya ingin berteriak marah kepada pengemudi di jalanan yang dengan egoisnya tidak mau perduli.
Ada pasien gawat disini sementara sebagian dari mereka seperti tidak mau ambil pusing dan terus melaju. Bagaimana kalau keluarga mereka sendiri yang berada di dalam ambulans.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
RomansaSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...