Part 8. HIS CONFESSION

8.7K 1.2K 172
                                    

Keesokan hari, Zufar sampai di depan lobi rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Ia turun dari mobil dan berjalan santai sambil menyapa satpam yang bertugas shif pagi.

"Assalaamu'alaikum, selamat pagi Pak Heru."

"Wa'alaikumsalam. Selamat pagi dr Zufar."

Hanya sapaan ringan, tapi telah menjadi kebiasaan baik yang ia mulai semenjak menjadi mahasiswa kedokteran hingga sekarang.

Ia mengirimkan pesan ke Fiyya kalau sudah tiba dan akan mulai visit dari lantai lima. Ada tiga pasiennya dirawat disana. Lift tampak lengang, karena mungkin masih jam 7.30 pagi.

Salah satu alasan Zufar datang lebih awal, sebenarnya karena ia ingin tahu apa jawaban Fiyya terhadap permintaan Kafka.

Kemarin sore, ia sempat melihat Kafka bertemu Fiyya di bangsal dan tampak membicarakan hal yang serius. Sekali lagi, hal itu bukan merupakan urusan Zufar. Tapi entah kenapa, Zufar penasaran.

Zufar masuk ke dalam lift dan masih mendengarkan lantunan dzikir pagi melalui earbuds. Sampai di lantai lima, netranya mencari sosok yang mulai familiar di benaknya.

Sungguh ia telah berusaha bersikap biasa saja terhadap Fiyya. Tidak ada perlakuan yang istimewa dan sama seperti ia memperlakukan asisten yang sebelumnya. Mereka akan berdiskusi bersama semua hal untuk kebaikan pasien.

"Dokter Fiyya, mana ya? Kok belum kelihatan?"

Zufar semula menahan diri untuk tidak bertanya. Tapi akhirnya pertanyaan itu terlontar juga sesampainya ia di depan nurse station.

Zufar masih belum menemukan gadis berhijab yang tingginya hampir menyamai dirinya. Ia tidak menyangka gadis yang ditemuinya bertahun-tahun lalu, telah tumbuh tinggi.

"Dokter Zufar mau langsung visit pasien, sekarang?"

"Saya visit sendiri aja nggak apa-apa Bu." Zufar tersenyum ramah dan kemudian berjalan menuju mushola.

Beberapa pasang mata tampak memperhatikan pria itu. "Masya Allah, ganteng banget dr Z."

Bu Imah cleaning service yang bertugas pagi ini di ruang Bougenvile, memandang tak berkedip ke arah Zufar.

"Istighfar Bu Imah. Mang Adin mau dikemanain? Sampai nggak berkedip gitu, ngelihatin dr Z."

Ners Linda geleng kepala melihat tingkah Bu Imah yang sudah lama mengagumi Zufar. Bukan tanpa alasan, tapi karena Mang Adin, suami Bu Imah yang menjadi sekuriti di RS, pernah dirawat oleh dr Z sewaktu kena Demam Berdarah. Alhamdulillah dengan izin Allah dan ketekunan dr Z, suami Bu Imah bisa sembuh.

Hampir semua rekan kerja dr Z mengakui, pria itu memiliki perhatian lebih terhadap pasien-pasiennya. Kalau sudah bersama pasien, Zufar tidak lagi irit bicara. Ia sering bertanya mengenai kabar keluarga pasien, termasuk anak dan cucu pasien.

Pasien Zufar yang kebanyakan lansia,  tidak segan memamerkan foto cucunya di layar ponsel saat visit. Meski hanya sekilas, tapi itu bisa membuat pasien senang. Bagi Zufar, dukungan keluarga sangat penting untuk kesembuhan pasien.

Karena itu ia harus menjalin komunikasi yang baik, dengan keluarga pasien. Supaya setiap advis yang ia berikan, bisa dijalankan. Tidak ada seorang dokter di dunia ini yang tidak menginginkan kebaikan untuk pasiennya.

Meski kadang bagi sebagian orang, nasihat dokter itu terasa menyakitkan. Seperti minum pil pahit, tapi tujuan akhirnya untuk kesembuhan pasien.

***

Selesai visit seluruh pasien, kedua netra Zufar menangkap bayangan di seberang. Ada Kafka yang baru keliling bangsal dan juga ada Fiyya di sampingnya. Mereka berdua tampak berbicara akrab.

Zufar berusaha cuek tapi ternyata ia tidak bisa. Ia sengaja menunggu Fiyya sampai gadis itu selesai mengobrol dengan Kafka. Kata-kata Kafka tempo hari sangat mengganggu Zufar.

Suara langkah kaki terdengar mendekat dan sepertinya Fiyya menyadari kalau Zufar menunggunya.

"Lagi sibuk, sampai nggak ikut saya visit?" Secara langsung Zufar menyindir Fiyya.

"Maaf Dok. Tadi sedang diskusi pasien baru dr Kafka yang saya terima di bangsal."

"Oh. Saya kira kalian berdua membicarakan masalah pribadi. Kelihatannya serius sekali. Serasa dunia milik berdua." Zufar semakin dalam jatuh dalam rasa cemburu.

"Lho, kok Dokter tahu? Tadi dr Kafka nawarin lanjut diskusi sambil minum kopi di Kafe Jingga. Karena saya nggak suka kopi, jadi saya tolak."

Eh. Serius? Zufar kira Kafka hanya bercanda mendekati Fiyya. Ternyata sahabatnya itu sungguh-sungguh tentang perkataannya.

"Selama kamu masih jadi asisten saya, saya harap kamu fokus untuk tugas-tugas bangsal dan memeriksa pasien dengan teliti. Saya merasa terganggu kalau kamu malah berduaan dengan dr Kafka."

Kening Fiyya berkerut. "Termasuk cuma diskusi pasien?"

"Kalau kamu mau pergi keluar, jangan pergi berduaan. Saya nggak mau kamu jadi omongan orang banyak."

Fiyya merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya dr Zufar cuek dan tidak peduli dengan hal-hal remeh temeh. Mengapa dia dan dr Kafka bisa dianggap mengganggu.

"Siap Dok. Jadi pasien mana yang belum dokter visit?" Fiyya memandang Zufar dengan wajah polos tanpa dosa.

"Saya cari kamu dari tadi, tapi kamu nggak ada. Saya sudah selesai visit semua pasien." Zufar berusaha menyembunyikan kekesalannya.

"Kalau kamu haus ilmu dan mau diskusi pasien, kamu bisa bilang sama saya. Jadi selama jadi asisten saya, ada ilmu yang bisa saya bagi sama kamu Fiy. Kamu nggak cuma dapat capeknya aja follow up tiap pagi." Zufar melihat kedua mata Fiyya berbinar senang.

"Siap Dok. Tapi Dokter janji nanti nggak boleh marah-marah kalau saya banyak tanya. Yang sabar ya Dok, menghadapi orang lemot kayak saya."

Zufar berdehem. Sedikit gugup mendengar kata-kata Fiyya, karena sikapnya banyak berubah sejak mengenal gadis ini. Dulu ia cuek dan tidak banyak berdiskusi dengan asistennya terdahulu.

Image gunung es yang bertahun-tahun ia bangun, kini perlahan mulai mencair. Ia tidak tahu atas dasar apa perasaannya muncul untuk Fiyya. Apa karena Rezi menitipkan Fiyya untuk ia jaga. Ataukah karena ia tidak rela Kafka  dengan terang-terangan mendekati Fiyya.

"Kamu sudah sarapan?" Tanya Zufar lembut.

"Belum sempat Dok." Ungkap Fiyya jujur. Sebelum cacing dalam perutnya berdemo meminta makan, lebih baik dia berterus terang.

"Sebelum pulang, kamu ambil nasi kotak di ruang Mbak Ambar. Saya sudah pesan sarapan untuk kamu."

Fiyya sebenarnya sudah tahu karena Mbak Ambar sekertaris komite medik sering mengingatkan.

"Terima kasih, Dok."

Fiyya melihat dokter Zufar tersenyum. Sungguh hal yang tidak biasa, tapi Fiyya senang karena lelaki ini berubah lebih ramah dan terbuka kepadanya.

Dokter Zufar yang dulu kental dengan image serius dan jarang berbicara lama dengan lawan jenis, sekarang menjadi sosok berbeda.

"Bunda titip salam untuk kamu." Dokter Zufar berjalan menuju lift dan Fiyya mengikuti langkah lelaki itu. "Kalau kamu ada waktu, kirim pesan sama Bunda. Tapi kalau Bunda cerita tentang saya, kamu jangan langsung percaya. Kadang Bunda suka berlebihan."

Fiyya tiba-tiba tersenyum geli. Ia sudah banyak mendapat cerita tentang masa kecil dokter Z.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri kayak begitu?"

"Nggak apa-apa, Dok. Memangnya senyum doang nggak boleh?" Fiyya menutupi wajahnya dengan buku.

Sebelum berpisah di lift, Zufar mengatakan sesuatu yang membuat hati Fiyya berguncang.

"Jangan telat makan. Jangan sampai sakit. Jangan buat saya overthinking karena kamu berduaan dengan lelaki lain. Sampai jumpa besok pagi. Assalaamu'alaikum."

Pintu lift terbuka dan dokter Zufar lebih dulu pergi. Meninggalkan Fiyya yang masih berusaha memahami perkataan lelaki itu.

Apakah tadi itu barusan pengakuan kalau dr Z memiliki perasaan khusus terhadapnya. Fiyya geleng kepala, berusaha menafikkan kesimpulan yang baru saja terlintas di benaknya.

***

DEBARAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang