Pagi ini Fiyya menikmati nasi uduk yang dia beli di depan rumah sakit. Semalam dia bersyukur bisa tidur nyenyak sejak jam 12 malam hingga jam lima pagi. Tentu penyebabnya karena hujan turun deras sampai azan subuh.
Pasien baru IGD sepi sehingga pasien baru pun tidak ada yang masuk ke ruang rawat inap, kecuali yang sudah datang sebelum hujan. Fiyya menikmati tidur bebas hambatan.
Semesta seperti mengamini hari pertama Fiyya menjadi asisten dr Zufar. Dia bisa beristirahat sebelum mulai follow up pasien di bangsal. Semalam dia sudah mencatat semua nama pasien dr Zufar di buku tulis seukuran saku.
Pasien dr Zufar semuanya ada 25 orang. Fiyya mulai berhitung, jam berapa dia harus memeriksa pasien. Setelah itu dia masih harus memasukkan hasil pemeriksaan ke komputer. Termasuk bila ada hasil laboratorium atau hasil radiologi terbaru.
Itu artinya kalau dokter Zufar mulai visit jam tujuh pagi, Fiyya harus lebih dulu follow up di jam empat pagi. Karena keenakan tidur, Fiyya malah bangun kesiangan. Alhasil dia baru selesai memeriksa menjelang jam tujuh pagi.
Dengan segala kreativitas dan inovasi, Fiyya meminta tolong adik koas untuk membuatkan mapping pasien bangsal. Seharusnya dia tidak boleh menyuruh adik koas. Tapi dengan kecepatannya yang mirip keong, Fiyya tidak sempat membuat.
Mapping yang dia maksud adalah melengkapi posisi tempat tidur pasien. Berikut nama, keluhan singkat, dan hasil pemeriksaan terbaru yang penting. Galeri ponselnya sudah mulai penuh dengan foto-foto hasil laborat.
Sejujurnya kegunaan mapping untuk jaga-jaga kalau Fiyya ditanya dr Zufar tentang pasiennya. Paling tidak Fiyya tahu pasien mana yang dimaksud saat visit dan diagnosanya.
Hingga jam 7 lewat 30 menit, dokter Zufar belum ada tanda-tanda visit. Fiyya masih bisa santai sejenak menghabiskan sarapan dan melakukan panggilan video dengan Nara.
"Hai muka bantal." Nara menggoda Fiyya.
"Nggak ya. Semalam aku bisa tidur nyenyak. Mana hujan lagi. Enak banget pelukan sama guling." Fiyya tersenyum jumawa sambil mengunyah orek tempe dan telur dadar.
"Heh. Jaga macam apa itu? Nggak ada pasien baru di bangsal? Gue jaga siang nih."
"Wah, enak dong Na. Banyak pasien dr Kafka yang pulang semalam. Gue lagi deg-degan. Pasien dr Z lumayan banyak. Mana belum hafal satu-satu. Untung koasnya mau bikin mapping." Nara melipat kertas nasi yang sudah kosong dalam sekejap.
"Eaaa. Hari pertama udah nyuruh-nyuruh adek koas."
"Nggak nyuruh, tapi minta tolong. Gue juga ngajarin mereka cara baca EKG kok." Fiyya membela diri.
Nara terkikik. "Siap Kakak. Jangan lupa adek koasnya ditraktir makan siang." Nara tertawa.
"Fiy, by the way Lo jadi izin hari jum'at? Kalau jadi, gue gantiin visit. Kebetulan dokter Kafka jum'at nggak ada jadwal bimbingan koas. Gue bakalan free."
Nara benar-benar sahabat sejati Fiyya. Mereka baru bertemu saat wawancara dokter umum di rumah sakit dan selalu nyambung setiap kali mengobrol.
"Aah, terima kasih Naraku sayang. Gue jadi datang ke rumah singgah. Ada peresmian rumah baca disana." Fiyya mengingat janjinya pada Rezi.
Fiyya dan Rezi bersahabat sejak SMA. Beberapa alumni tergerak membuat rumah singgah untuk anak jalanan dan anak yatim piatu.
"Fi, Lo tahu gosip yang lagi beredar tentang dokter Z?" Nara masih tune in.
"Heh, gosip apaan?" Fiyya meneguk air mineral dalam botol.
"Dokter Z katanya lagi cari calon istri. Udah dideadline sama mamanya."
Fiyya hampir tersedak. "Nara, Lo bikin gue keselek."
Wajah Nara di layar tampak tertawa lebar.
"Sudah gue duga Lo pasti kaget, Fiy. Lo bisa jadi mata-mata. Soalnya gue kepo banget beliau lagi dekat sama siapa. Dokter Z kan suka irit ngomong. Siapakah perempuan yang beruntung itu?" Nara cekikikan seolah menyindir Fiyya.
Belum tahu aja Nara. Dokter Z irit ngomong apaan? Seingat Fiyya waktu dia terjebak di lift berdua dr Z, lelaki itu banyak ngomong.
Pintu kamar jaga diketuk dari luar. Fiyya memakai maskernya kembali dan membereskan meja di kamar jaga.
"Dok Fiy, sebentar lagi dr Zufar mau visit mulai dari lantai tiga." Ners Hilda membuka pintu yang memang tidak dikunci.
"Siap, Bu. Terima kasih." Fiyya mengangguk.
"Na, dr Z sudah mau visit. Gue mau siap-siap. Do'ain aman ya. Tegang banget gue."
"Yah, lagi seru juga topiknya. Eh, ternyata dr Kafka tuh sohiban sama dr Z. Udah ganteng, mapan, tinggal tambahin senyum aja, dr Z sudah pasti banyak yang antri pengen jadiin mantu."
Fiyya membuka pintu darurat dekat nurse station dan menuruni tangga ke lantai tiga.
"Ya kali Na, milih calon suami cuma karena mapan? Kalau buat gue sih, yang mapan bisa kalah sama yang bikin nyaman. Udahan dulu ya Say. Nanti gue telepon lagi." Fiyya berkata dengan penuh percaya diri.
"Aduh."
Fiyya tersandung karena kakinya tidak berpijak dengan benar, di anak tangga terakhir.
"Ehem, jadi yang mapan kalah sama yang bikin nyaman ya, Fiyy?"
Gubrak. Kayak kenal sama suara bariton di belakang bahunya.
"Saya duluan ya, dokter Fiyya. Saya tunggu di lantai tiga bangsal Bougenville."
Kedua bibir Fiyya menganga. Jangan bilang dari tadi dokter Z mengikutinya sejak di lantai lima. Ah, kenapa selalu ketemu beliau sih.
Fiyya jadi teringat ucapan Nara barusan. Nggak. Dia geleng kepala sendiri. Nggak mungkin mereka berjodoh cuma gara-gara sering ketemu. Ini pasti hanya kebetulan belaka.
Baru Fiyya hendak melangkah, dia merasakan mata kakinya nyut-nyutan. Kenapa jadi sakit sekali sampai sulit berjalan. Dia cuma kesandung biasa kan. Fiyya duduk di tangga dan berusaha mengurut kakinya. Tadi dia terburu-buru dan tidak melihat ada lantai yang tidak rata.
Tangannya membuka kaus kaki dan mendapati pergelangan kaki kanannya bengkak. Warnanya juga merah. Pantas saja sakit. Hari pertama visit dan kakinya keselo. Sungguh perpaduan dua hal yang indah. Fiyya memakai lagi kaus kakinya dan berjalan pelan-pelan.
Dokter Zufar pasti tadi melihatnya tersandung. Semoga beliau mau mengerti kalau Fiyya sekarang lebih lambat lagi daripada siput laut. Kalau memaksakan diri, dia takut kakinya semakin bengkak. What a day.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DEBARAN
Lãng mạnSebuah prestasi untuk Fiyya, tidak segera pensiun dini menjadi asisten Zufar. Dimarahi berulang kali karena ketidaktelitiannya menjawab konsulen, membuat Fiyya akhirnya sengaja membuat kesalahan yang sama. Tujuannya agar dia segera dipecat. Tidak ap...