Dipagi buta sekali, ibu terbangun dengan mata sembab, menyusuri perkarangan rumah mencari keberadaan suaminya.
Membuka pintu kamar, hendak membangunkanku melihat diriku yang tengah duduk dikasur sembari mengucek mata. " Oh Ara sudah bangun ya, yasudah segera mandi ya nak. " aku menguap, sembari menggeliat.
" Iya Bu " seraya beranjak dari ranjang mengambil handuk, setelahnya bergegas mandi.
Saat tak mendapati keberadaan suaminya itu, ia bergegas kedapur menyiapkan sarapan serta bekal anaknya.
Sebelum berangkat kerja, ia masih berkutat di dapur memastikan semua pekerjaan rumah terselesaikan.
Tak berselang lama, ayah menampakkan diri menghampiri istrinya di dapur. Saat langkahnya mulai mendekati tubuhnya seketika terhenti mendengar pernyataan dari istrinya yang mengejutkan.
Menyadari suaminya pulang, ia hanya bergeming sembari sibuk menggoreng ikan. Menyadari langkah ayah yang ingin menghampirinya seraya ia pun sudah tidak sanggup menahannya lagi–keinginannya untuk berpisah dari suami yang dinikahinya itu.
" Mas, Aku mau kita cerai. " tak berbalik badan, matanya berair seraya ia menyekanya.
Tangisnya tertahan, hatinya seolah menjerit. Logika dan perasaannya berperang, entah keputusannya itu jalan yang terbaik ataukah malah jurang baginya.
Bagaikan tersambar petir dipagi hari, sempat terhenti namun langkahnya kembali mendekat.
" Maksud kamu apa Ainun? " meraih bahu, sembari memutar tubuh ibu.
Ibu menepis, seolah dirinya sudah geram dengan permasalahan yang terjadi. " Lebih baik kita berpisah mas, pernikahan ini sudah tidak bisa kita selamatkan lagi. " mematikan kompor, lalu berbalik badan menghadap suaminya.
" Mungkin inilah jalan yang terbaik untuk kita berdua. " menghela nafasnya dengan sengal.
" Baik buat kita, tapi tidak bagi anakmu, nun. " menatap kedua bola mata ibu lekat-lekat, sembari emosinya yang tengah tersulut.
" Masih banyak cara untuk kita bisa menyelamatkan pernikahan ini, aku mohon kamu jangan emosi dalam mengambil keputusan. " meraih tangan ibu, dengan digenggamnya erat. Dirinya tak menundukkan pandangannya seraya tak sanggup melihat paras suaminya yang tampak terlihat sendu.
" Aku sudah memikirkannya dengan matang mas, aku harap kamu bisa mengerti dan tidak mempersulit keputusan yang aku buat. "
" Apakah kamu yakin dengan keputusanmu? Lalu bagaimana dengan Arabella? "
" Aku yakin, dalam hatimu masih terbesit keinginan untuk mempertahankan rumah tangga ini. "
" Kalau kamu mau aku bekerja, akan aku cari pekerjaan itu sampai dapat bahkan jika harus menempuh perjalanan yang sangat jauh sekalipun."
" Tapi kumohon, tarik ucapanmu dan bersikaplah lebih dewasa lagi. "
Seketika ibu mendongakkan kepalanya, emosinya semakin menyala mendengar dirinya dinilai tidak dewasa dalam menghadapi setiap permasalahan.
" Dewasa? Kamu tuh yang kurang dewasa sebagai kepala keluarga, mas." Melayangkan jari telunjuknya kehadapan suaminya.
Saat melihatku yang sedang memperhatikan mereka, seketika ayah menjauh dari dapur. Sedangkan ibu, kembali melanjutkan pekerjaannya.
" Ayah sama ibu lagi bertengkar ya? " celetukku polos, seraya ia mendekati dengan duduk bersimpuh mengusap kedua bahuku.
" Mmh, Ara ayah sama ibu tidak bertengkar tapi memang sedang ada masalah saja. "
KAMU SEDANG MEMBACA
ARABELLA
RomanceHANYA BOLEH DIBACA KHUSUS USIA DIATAS 21 TAHUN, KARNA CERITA MENGANDUNG UNSUR VULGAR. TIDAK DISARANKAN UNTUK DIBACA RAME-RAME- Aku seorang wanita yang memiliki profesi yang hanya bermodalkan tubuh saja. Sejak perceraian ayah dan ibu tampaknya hidupk...